Wednesday, December 31, 2008

Katon Bagaskara - Jogja, Cinta Tanpa Akhir

Intro:
Gumregah Merapi anyundhul langit
Padhang mbulan in candhi Prambanan
Keraton pusering buddhi
Candik ayu ing segoro kidul


Membekas, jejakku di pantai berpasir
Deru Parangtritis memanggil
Sekian lama merebut hidup tanpa akhir
Saatnya kumanja nurani

Ada haru di sela ombakmu
Gamelan lirih melenakan kalbu
(Ana rasa trenyuh kapit ombak ira
Gamelan rep anyirep ati
)
termangu ku di situ

Asyik terpukau
Lalu lalang orang di jalan
Ramai sepeda beriringan

Senyum menawan
Wajah ramah memberi salam
Hati terhanyut damai tentram

Anggun gemulai sang dewi penari
Bawa legenda putri di Taman Sari
(Merak ati sang dewi kang luwes ambeksa
Ambabar caritaning putri ing Tamansari
)
Betapa mesranya budaya menyapa

Janganlah dulu, waktu berlalu
Biar kureguk pesonamu
Lalu melepas beban di dada
Kala susuri kota

Setiap waktu kini berpadu
Pada kenangan tak berlalu
Segenap rasa dariku t'rus mengalir
Cinta tanpa akhir
untuk Jogja

Kutitip rindu di bangunan tua
Romansa Jawa membuai tak terasa
Betapa lugunya, budaya menyapa

Coda:
Sapa kan tetirah ing ngayogya
Rasa tentrem angelus nala
Bumi saya prasaja

Katon Bagaskara - Merapi

Memandang lereng merahmu
Menyala membelah gelap malam
Bagai permadani terang
Duduk diam terkesima
Dibelai angin
Jiwa lirih tergetar

Masih terus membayang
Gemuruh bersahutan
Lembah hijau terusik
Ribu doa terpanjat
Makna menghambur tinggi

Kuterbawa dalam alun legenda
Betapa kau dipuja insan sebagai pertanda
Saksi dunia kita makin menua
Dalam harap hidup damai kan tetap terjaga
Oh ... engkau merapi (2x)

Hadirmu memberi
Kesuburan sekitar
Dari masa ke masa
Tetap tegar berdiri
Dingin penuh wibawa

Hari ini Setahun Lalu

Berdua denganmu dan menikmati indahnya cinta adalah satu hal terindah dalam hidupku. Mungkin orang akan berpikir kalimat itu terlalu dibuat-buat, terlalu melankolis atau terlalu 'melambai'. Aku tidak peduli, karena itulah kalimat yang pantas dan layak aku tuliskan/ucapkan untuk mengatakan apa yang terasa di dalam hati dan pikiranku saat bersamamu waktu itu.

Sepanjang hari itu tak henti aku memelukmu, menciumu dan menggenggam tanganmu, seolah tak ingin sesuatupun beri jarak antara kita. Harum tubuhmu dan kelembutan kulitmu seperti sudah menyatu dengan keadaanku yang terbuai mimpi tiada henti. Bahkan saat engkau terbaring di hadapanku tak kuasa satupun berkehendak selain ingin memberimu cinta yang membesar dari dalam hati.

Hingga beberapa jam kemudian terompet tahun baru bersahutan. Gerimis tak aku hiraukan. Matamu dan mataku berkeliling memandang riuh kembang api dari sebuah sebuah tempat tertinggi. Tapi aku tau, saat itu sebenarnya hati kita sedang bertanya; Akan kemana arah kita?

Kacau

Bertubi-tubi tak pernah berhenti
Otak seperti dikebiri
Setiap hari
Hampir mati

Berkejaran seperti balapan
Otak berpikir setan
Penuh beban
Tak teremban

Benarkah ini satu jalan
Otak tak bertuan
Tanpa ilmu simpanan
Tanpa ajaran

Sunday, December 28, 2008

892734 76234 762349723

6725124 152 5453 263542 o625345 02345
234765 34 347623 262687634 9634 7634 7634534
76487 34534 863456873 76345 7634 5076
38437465 345 38453 8673 6876 3409798345

909723 89234 8767 7234 72967542
234267 2347676234 76234 7627364 7623476
2347 6253495 26534 4569456 84573530 7474
8437353 7643764343 38363 386748947

838473 387484 65986 65983495 0345983 87
897 874395 3983 43956 3834593
3858 987589075 973867 3869 89734589 3873
9874355 98435 8973487 0556734 737

----
Angka juga ingin bicara, karena dia juga punya jiwa, dan bumi adalah angka-angka...

Terjebak

Terjebak pada keadaan yang serba menyulitkan sungguh tidak menyenangkan. Apalagi jika itu berkejaran dengan waktu yang tak pernah sekalipun toleran. Bisa dibayangkan pikiran dan batin berebutan ciptakan depresi yang menuakan wajah serta merentakan kulitku. Ah, Bukankah aku memang sudah renta? --Puas Fe? Far?

Mungkin memang harus teralami kejadian seperti ini, supaya pola pikir dan logiku berjalan sewajarnya. Tidak lagi bergelantungan di langit-langit khayalanku seperti hari-hari sebelumnya. Tapi apa aku salah jika khayalanku itulah yang membuatku bertahan sampai hari ini? Aku akui, khayalan adalah satu-satunya buah yang membuatku memahami orang lain. Imajinasi dan khayalan adalah sisi kepalaku yang selama ini menghidupiku. Aku tau itu...

Saat ini aku tinggal memilih, bagaimana aku harus sikapi jebakan ini dengan keyakinan yang aku miliki. Apakah aku akan beringsut perlahan sembari lepaskan jeratnya satu persatu? Atau menyerah dan terkapar di jebakan yang semakin lama sulurnya makin kuat menjeratku? Pilihan ada di tanganku.

Aku tak mau menyerah!

Wednesday, December 24, 2008

Kla Project - Tak Ingin Ku Beralih

Hujan basahi pagi dingin menemani
dan masih ku disini berharap menanti
Semenjak kau pergi menyisakan duka ini
Separuh ruang hati kini terasa hampa tak berarti
Hanya engkaulah yang mampu mengisi

Reff:
Kudambakan kasihmu kurindukan hadirmu
yang selalu membasuh pedih
Sungguh kau tak terganti bilakah kau kembali
Tak ingin hatiku beralih

Dan masih ku disini berharap menanti
Semenjak kau pergi menyisakan duka ini
Separuh ruang hati
hanya engkaulah yang mampu mengisi

Bridge:
Meski banyak bunga lain mencoba cerahkan hati
Namun kenanganku akan dirimu yang selalu memanggil
bahagiaku...

Tuesday, December 23, 2008

Cerita Tentang Hujan

Hujan masih merintik di bibir genteng rumahku. Tempiasnya hantarkan dingin dan basah di lengan bajuku. Aku menyudut dan merapatkan tubuhku pada tembok teras yang sebagain catnya sudah mengelupas.

Hujan seperti tidak peduli dengan bunga-bunga yang kelelahan bergoyang-goyang ditimpa jatuhnya. Juga pada tanah yang tersiksa karena pori-porinya dipenuhi ruah genangan. Sekelebat kutangkap percikan sebuah rindu kepadamu.

Dulu. Hujan inilah yang pernah mengungkung kita di pada peraduan tak terpisah. Alangkah indahnya hujan waktu itu. Gemriciknya bak tetabuhan langit yang manjakan telinga batinku –dan batinmu– yang bersenandung bersama.

Aku lukis namamu pada permukaan kaca yang berembun tertiup dingin di luar: I love you. Dan selalu hujan yang samarkan kelembutan bisikmu di telingaku tentang kebahagiaan itu.

Hujan selalu sisakan aroma pada rerumputan, pada tanah dan pada aspal saat berhenti. Seperti ingin kekalkan keberadaannya pada matahari yang segera menggantinya. Buatku itu tak perlu. Hujan sudah terasa kekal basahi kekeringan di ulu hatiku pada rasa merinduimu.

Hujan tak kunjung berhenti. Ia sengaja mainkan iramanya pada setiap benda di bawahnya untuk menggodaku. Aku menghela nafas. Semakin lama gemricik hujan justru seperti menggerus kekuatan pikiranku satu persatu. Tetasnya tak lagi suarakan harmoni yang menenangkan kebekuanku. Sebaliknya, ia berubah menjadi milyaran tombak yang bersiap menghujam sepi karenamu.

Aku berlari menerobos setiap celah hujan. Dingin dan basah justru samarkan perasaan dan tangisanku memilu. Akankah hujan ini berakhir dan bawa sirna semua rasa? Entahlah…

---------

Catatan ini kutinggalkan buatmu

Monday, December 22, 2008

Ini Harimu, Bu?

Seorang terkasih ingatkanku tentang hari ini

"Sudah telp ibu?"
"Belum," jawabku
"Telponlah, sekedar ucapkan hari ini untuknya," pintanya
"Iya nanti," elakku halus.

Seharusnya setiap hari adalah Hari Ibu. Karena sampai detik ini masih saja beliau yang berperan atas semua hal. Ibu adalah induk semua kehidupan di bumi ini. Karena semua ada melalui ibu.

Lalu untuk apa hari ini?

Mengulik Kenangan

Mungkin nanti semua akan merasakan perasaan yang aku alami. Pada orang-orang yang telah melewatinya lebih dulu aku bisa rasakan maknanya. Bohong jika kekhawatiran tak mengena setitikpun syaraf di kepalanya. Tapi tetap saja ini jadi rahasia.

Alur hidup yang tak tertebak ini sungguh menyenangkan. Itulah kenapa tercipta takdir. Takdir dikatakan saat perjalanan tak terduga kehidupan ini  terlewati. Maksudnya, orang bicara tentang takdir saat takdir telah melewatinya, bukan sebelumnya. Jika hidup ini tertebak alurnya alangkah tidak menyenangkannya dunia. Semua berlaku seperti mesin-mesin di pabrik: Monoton dan robotik.

Seperti membuka album foto masa kecil yang tersimpan lama di gudang. Sekalipun berdebu dan kecoklatan warnanya, kenangan tak bisa diubah. Seribu cerita sudah pasti berada di sekelilingnya, tak peduli cinta, amarah, bahagia atau bahkan prasangka. Dan dalam beberapa hari ini aku sibuk merangkai remah-remah masa lalu yang mulai berhamburan dibias kesibukan masa kini. Tujuannya tentu bukan untuk menilai sesuatu yang keluar dari aku, tapi untuk menilai sesuatu yang masuk ke dalam jiwaku. Dan ternyata besar!

Itulah kenapa ada kehilangan tak terhingga atas jarak yang segera terbuat antara aku, pikiranku dan kenangan itu. Aku sadar bahwa sejujurnya tak pernah ada kehilangan selama aku tak pernah merasa memilikinya. Karena itulah aku kantongi remah-remah itu dalam saku celanaku. Sesekali akan kuambil dan kunikmati dalam perjalanan. Untuk buatku tak sendiri. Untuk buatku selalu berarti. Di hati.

Thursday, December 18, 2008

Terlambat

Kaca loket penerbangan swasta di bandara internasional berantakan aku lempar dengan sebuah batu sebesar mangga Harum Manis, Selasa sore kemarin. Wanita cantik di balik loket histeris ketakutan sambil menutup wajahnya yang takut terluka terkena pecahan kaca. Aku tidak peduli. Segera aku berlari lagi ke arah taman di bagian depan airport dan mengambil batu untuk kali kedua. Kali ini aku lemparkan ke loket penerbangan yang sama di sebalah kirinya. Suara kaca berhamburan di lantai makin membuat kacau balau airport. Para wanita hanya bisa menjerit ketakutan sambil lari menjauh. Sementara para pria hanya bisa terpana melihat kejadian itu. Tak satupun beranjak menghentikanku.

Aku cuek. Mataku masih melotot. Sebentar-sebentar memaki sambil berteriak-teriak tanpa moral. Habis sudah semua jenis binatang aku sebut untuk menggulirkan kekesalanku sore itu. Selembar tiket penerbangan aku acung-acungkan ke udara.

"Emang tidak bisa membawa satu penumpang lagi? Toh pesawat juga belum terbang! Apa kalian tidak punya nurani untuk menaikkan 1 penumpang saja?" Aku masih saja teriak. Sampai suaraku serak dan otot leherku mengejang.

"Dokumen sudah naik semua? Maksudnya apa? Apa susahnya menambah satu dokumen lagi?"

"Kalian tahu, " lanjutku masih dengan suara keras, sambil menunjuk pegawai penerbangan yang berusaha menenangkanku. "Waktu berangkat ke sini, pesawat terlambat satu jam dan aku tetap menunggu! Tapi kenapa aku hanya terlambat 1 menit kalian tidak mau membawaku terbang? Bahkan aku harus membeli tiket baru? Kalian gila!"

Aku mengambil bak sampah kayu di belakangku dan bermaksud melempar lagi loket penerbangan itu ketika beberapa petugas keamanan bandara tiba-tiba menyergapku. Aku tersungkur tak berdaya ditindih lutut dua petugas. Bak sampah yang sedianya aku lemparkan terpental dan terjatuh. Isinya berantakan di lantai bandara yang mengkilat. Aku masih teriak-teriak saat kedua tanganku ditarik kebelakang dan seorang petugas memborgolku.

"Ayah, terlambat ya? Asyik, ayah masih bisa main sama kakak hari ini..."

Suara anakku pecahkan khayalanku yang tersulut kekecewaan karena terlambat ke airport dan tertinggal pesawat. Ah, kenapa pikiranku seburuk itu? Aku menghela nafas panjang. Perlahan kumasukkan ketenangan dan kerinduan anakku kepadaku ke dalam kekecewaanku tadi. Mak Nyesss...

Seketika tak kupikir tiket hangus (yang artinya uang terbuang sia-sia) yang masih aku pegang. Mungkin sisi baiknya, aku diberi kesempatan sedikit lebih lama untuk bermain-main dengan anak-anakku. Rejeki bisa dicari, tapi kesempatan indah dengan anak-anakku adalah waktu yang tak pernah terganti.

Kuangkat tas ransel dan sekardus oleh-oleh untuk kawan-kawanku di Jakarta. Kucium kening anakku dan kugandeng tangan mungilnya. "Yuk Sayang, kita pulang..."

Wednesday, December 10, 2008

Pernahkah?

Pernahkah merasa kecil?
Pernahkah merasa kerdil dari kerikil?
Pernahkah tak lebih berharga dari secuil upil?

Pernahkah membayangkan laut?
Pernahkah menghayalkan di tengahnya engkau kalut?
Pernahkah hadapi yang paling kau takut?
pernahkah akhirnya kau merasa bagaikan kentut?

Pernahkah kau bertemu macan loreng?
Pernahkah jadi saksi ganasnya yang mentereng?
Pernahkah menatap ganasnya mata kelereng?
Pernahkah akhirnya kau hanya sebesar koreng?

Akan ada masanya...
Yang mentereng menjadi koreng
yang laut menjadi kentut
Yang kerikil menjadi upil

Lalu buat apa kau rasa raja?

Monday, December 8, 2008

Anak "Benar-Benar" Indonesia

Sepanjang jalan pulang aku masih memikirkan kalimat Shanaz Haque saat menjadi tamu di acara Talk Show Scope Indonesia 2008 di JCC beberapa jam lalu; "Dada harus tetap merah putih, kepala boleh internasional". Mungkin oleh beberapa orang, kalimat ini dianggap ungkapan sok nasionalis atau apa. Tapi buatku ini sebuah pernyataan yang menyentil pemahamanku tentang "dada dan kepala". Aku setuju dengan pendapat Shanaz tentang bagaimana membentuk anak kita menjadi pribadi yang pintar dan berahlak baik tanpa 'mendurhakai' tanah kelahirannya.

Saat ini anak-anak Indonesia yang "benar-benar" Indonesia sudah berkurang jumlahnya. Sebagian sudah menjadi anak-anak "import" yang berlaku bak turis manca di negerinya sendiri. Jangan tanya siapa Patimura, Cut Nyak Dien atau Dewi Sartika, mereka tidak akan tahu. Atau cobalah memintanya menyanyikan lagu Indonesia Pusaka, Di Timur Matahari atau Rayuan Pulau Kelapa. Miris, tapi inilah kondisi yang ada sekarang ini.

Mungkin itu salah satu efek yang tidak menguntungkan sebuah globalisasi dari sisi sosial budaya. Indonesia sebagai negara dunia ketiga berada pada posisi 'terbuka' menerima penyebaran budaya dari seluruh penjuru dunia. Lalu lintas informasi yang tak terbendung disalahkan sebagai biang keladi dari perubahan itu.

Dua minggu lalu ketika aku berada di sebuah warnet, tak sengaja telingaku terusik oleh suara anak-anak yang membahas sesuatu tak lazim menurutku. Saking kerasnya dialog itu, aku sampai menggeser kepalaku mencari sumbernya hingga menemukan mereka yang duduk persis di satu kamar warnet di depanku. Mereka 2 bocah laki-laki. Kaki mereka masih menggantung, bisa dibayangkan berapa usia mereka.
"Masak sih itu asli ciumannya? Mereka ciuman beneran itu?"
"Iya, ini asli, kok gak percaya sih?"

Aku terbengong-bengong mendengarnya.

Mungkin soal pengetahuan tentang pahlawan, lagu-lagu nasional dan hal-hal yang aku sebut di atas bukanlah kesalahan budaya negara-negara luar. Indonesia masih negara "timur" yang ke Indonesiaannya berjalan secara sederhana dan tradisional sepanjang waktu, jika tiba-tiba mendapat "hal baru " yang lebih enak, gampang dan (dirasa) menyenangkan, apa bisa ditolak? Ibarat kuda yang lepas dari kandang....

Di situlah arti "pendidikan" untuk Indonesia seharusnya berperan.

Orang tua pastilah ingin menjadikan anak sebuah pribadi yang top markotop good marsogud di kemudian hari; Pribadi yang cerdas, modern, berahlak dan agamis. Tak salah jika ditambah juga penanaman nasionalisme dengan cara yang sesuai untuk usianya. Supaya kelak dia menjadi pribadi Indonesia yang benar-benar Indonesia: Berdada merah putih dan berkepala internasional.

Sunday, December 7, 2008

Letto - Memiliki Kehilangan

Tak mampu melepasnya
Walau sudah tak ada
Hatimu tetap merasa
masih memilikinya

Rasa kehilangan
hanya akan ada
Jika kau pernah
merasa memilikinya

Pernahkah kau mengira
kalau dia kan sirna
Walau kau tak percaya
dengan sepenuh jiwa

Rasa kehilangan
hanya akan ada
Jika kau pernah
merasa memilikinya

*Lirik yang indah Noe...

Friday, December 5, 2008

Jubah Kehormatan

Tak banyak orang yang bersedia menanggalkan segala kehormatan. Tak banyak orang yang rela menanggalkan jubah kebesarannya demi sesuatu yang belum pasti. Melepaskan kenikmatan yang tengah memuncak dan bertengger pada ranting kecil sebagai tumpuan akan memerlukan tekad dan semangat yang luar biasa. Mungkin itu tidak berlaku di dunia nyata. Hanya akan terjadi di dunia yang isinya bukan manusia. Benarkah?

Kehormatan tidak muncul begitu saja. Jubah kebesaranpun tidak bisa didapatkan seketika. Ada perjuangan panjang yang menyertainya. Perjuangan yang tentu membutuhkan pengorbanan waktu, tenaga, perasaan dan segalanya yang tak terbeli. Di situlah kehormatan itu muncul, tak berbentuk, tak berwujud secara nyata. Hanya di kepala.

Dan melepas jubah kehormatan tidaklah sesulit mendapatkannya. Hanya membutuhkan kepercayaan pada diri sendiri, keikhlasan dan tetap tanpa prasangka kepada siapapun. Proses ini hanya bagian terkecil dari dinamika kehidupan bahwa pencarian berhubungan dengan kehilangan, pertemuan berhubungan dengan perpisahan, dan seterusnya.

Maka mari bersiap jika suatu saat jubah kehormatan kita terambil. Segera relakan dan bersiaplan menjadi manusia biasa yang tidak pernah terambil 'kehormatan diri'nya. Karena jubah kehormatan bukan kehormatan yang sesungguhnya.

Wednesday, December 3, 2008

Manusia itu Sombong!

Pernahkah merasa sombong? Aku pernah!

Sebenarnya apa sih sombong itu? Otak dengkulku hanya bisa mendefinisikan 'sombong' sebagai perasaan memiliki sesuatu yang lebih besar dari apa yang dia miliki. Bisa juga perasaan ingin menunjukkan ke orang lain apa yang dia miliki (pamer). Entahlah apa lagi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sombong adalah menghargai diri secara berlebihan; congkak, pongah. Sombong yang aku maksud ini adalah sikap yang menyebalkan, membuatku muak, membuatku malu dan justru membuatku makin tidak berarti.

Mungkin manusia tidak 'sengaja' sombong. Ketika merasa dirinya butuh ruang untuk menunjukkan 'keakuannya', celah sempit itu akan tertindih kesombongan. Misalnya saat aku memasuki mall besar yang menjual barang-barang mahal, percaya diri dan kesombongan berkolaborasi. Aku mungkin akan berlagak punya uang segudang untuk membeli barang-barang itu, atau sekedar sok tau, ngerti tetek-bengek barang-barang itu. Ya ampun, ini menjadi reaksi alami yang memalukanku.

Aku masih ingat, dulu pernah berjalan di tengah barisan panjang mbak-mbak cantik dan mas-mas ganteng yang menawarkan aneka parfum di sebuah mall prestisius. Bajuku yang apa adanya (wajahku juga) tak membuat mereka tergerak 'bekerja' menawarkan wewangian itu. Pikir mereka, menilik tampangku, aku bukan orang yang suka dengan wewangian. Kasarnya; Aku tidak punya uang untuk beli parfum! (Hahaha....betuuulllll....) Mereka malah saling berbisik, seperti saling memberi kode "Woii, orang ini gak butuh parfum, dia butuh minyak tanah...". Besoknya, aku bertemu beberapa mbak-mbak cantik itu berdesakan satu bis denganku. Aromanya sama denganku. Betapa sombongnya pegawai itu...

Lain lagi ceritanya, dalam dunia kerja, ada juga beberapa orang yang tak sengaja menyombongkan dirinya. Mungkin dia butuh pengakuan bahwa dia punya power, sampai harus mengumbar jabatan ke banyak orang pada struktur kerja di bawahnya. Buat apa? Aku pernah bertemu orang yang suka pamer, congkak, pongah atas jabatannya sehingga dia sering berucap dan berlaku sebagai 'pejabat' di luar pekerjaan. Orang ini seperti ingin tembok batas "gue boss" dan "lu kacung" tetap tegak berdiri dimanapun, kapanpun.

Intinya, kesombongan bisa dilakukan siapa saja; Aku, kamu, kalian atau siapapun. Kesombongan seperti satu hal yang ditempelkan ke jidat kita sejak lahir. Tinggal bagaimana kita berproses supaya kesombongan itu tidak lebih besar dari isi kepala kita. Kesombongan akan muncul ketika batas kerendahatian tidak lagi bisa bertoleransi dengan keadaan yang berinteraksi dengan kita.

Sungguh, aku tidak ingin sombong...

Tuesday, December 2, 2008

Cerita 5 Hari Bersama 2 Boneka

"Yayyahhh..." Kuciumi Langit dengan gemas dan kangen tak tertahan.
"Kakak kangen ayah..." Kuciumi Lintang dalam pelukan eratku.
5 hari bersama 2 bonekaku hanya itu yang berlaku...

Friday, November 28, 2008

Perjalanan Membunuh Waktu

Beberapa hari tidak menulis sungguh menjadi siksa menahan semua tulisan di dalam kepala. Mungkin akhirnya ini terjadi juga, bahwa aku bisa tak sengaja jauh dari ngeblog.

Di awali beberapa hari lalu, ketika rencanaku pergi keluar kota tertahan pekerjaan yang tak berhenti. Kemudian di hari selanjutnya, kereta api meninggalkanku yang terjebak macet di lalu lintas Jakarta yang ruwet. Busway dan taksi ternyata tetap tidak mampu aku andalkan untuk membelah Jakarta.

Terdampar di Gambir dengan perut kosong dan tas ransel penuh barang menjadi deritaku selanjutnya. Lalu? Nyungsep di kantor sahabatku Radio Dalam janjian makan siang. Setelah itu nyasar ke Pasaraya Blok M, pura-pura baca koran sambil tiduran di sofa empuk (gak peduli satpamnya sewot), agak sore janjian dengan sahabat ke Plaza Semanggi. Di tempat ini, bahkan sempat mengikuti bincang bebas kampanye anti rokok.

Duh, jangan cap aku sebagai hedonis. Tapi itu benar-benar perjalanan membunuh waktu hingga jam kereta malam tiba, yang terjadi begitu saja, tanpa rencana...

Sekarang aku sudah ada di sebuah kota yang penuh keindahan buatku. Bermain dengan 2 boneka kecilku. Lucu.

Tuesday, November 25, 2008

Sunday, November 23, 2008

Lionel Richie - Stock On You

Stuck on you
I've got this feeling down deep in my soul that I just can't lose
Guess I'm on my way
Needed a friend
And the way I feel now I guess I'll be with you 'til the end
Guess I'm on my way
Mighty glad you stayed

I'm stuck on you
Been a fool too long I guess it's time for me to come on home
Guess I'm on my way
So hard to see
That a woman like you could wait around for a man like me
Guess I'm on my way
Mighty glad you stayed

Oh, I'm leaving on that midnight train tomorrow
And I know just where I'm going
I've packed up my troubles and I've thrown them all away
'Cause this t
ime little darling
I'm coming home to stay

I'm stuck on you
I've got this feeling down deep in my soul that I just can't lose
Guess I'm on my way
Needed a friend
And the way I feel now I guess I'll be with you 'til the end
Guess I'm on my way
I'm mighty glad you stayed

Friday, November 21, 2008

Sabar itu Palsu!

Sampai sore ini aku masih menahan diri untuk tidak melepaskan emosi yang sudah sampai di ujung lidah. Sejak kemarin, ada satu kondisi yang menyentil kesabaranku selama ini. Sabar yang selama ini menjadi tembok beton yang aku miliki tiba-tiba berubah menjadi selembar kertas tipis siap berhamburan.

Kalau orang yang sabar bisa marah, apakah sabar itu ada?

Eit tunggu dulu! Ingat, aku tidak mendudukkan diri sebagai orang sabar pada tulisan ini. Aku bukan tipe itu. Aku hanya orang yang jarang sekali marah, jarang sekali meledakkan emosi dan --sedikit-- tidak menyukai konfrontasi berbumbu emosi. Buatku, selama persoalan bisa diselesaikan dengan duduk sambil nyruput kopi, buat apa adu mulut?

Tapi sepertinya ada orang yang coba manfaatkan keadaan itu. Ada seseorang (dan lebih) yang coba 'bermain' di dalam lingkaran itu. Orang yang coba hamburkan kata, coba semprotkan dalil-dalil dan coba tempelkan nilai-nilai yang tak seratus persen dia ketahui.

Apa yang Anda katakan jika melihat seorang dokter bedah memandu seorang kepala montir cara membuka tutup oli mobil yang dipercayakan kepadanya untuk ganti oli? Oke, oke tidak apa-apa. Itu masih bisa dimaklumi. Mungkin Sang Dokter Bedah sering ganti oli sendiri, jadi tau bagaimana cara membuka tutup oli mobil miliknya itu dengan baik dan benar. Tapi bagaimana jika Dokter bedah itu mengatakan kepada Kepala Montir itu bahwa dia (montir itu) terlalu bodoh untuk menjadi montir? Bisa dibayangkan, tak perlu menunggu 5 menit untuk melihat keributan selanjutnya.

Sebenarnya sabar itu apa?
Apa sabar itu bahasa manusia untuk menyatakan 'status' seseorang yang belum emosi?
Apakah sabar itu 'sifat''? Apakah sabar itu 'sikap'?

Thursday, November 20, 2008

Tak Ingin Menulis

Aku belum ingin menulis
Tentang sajak tentang hati
Tentang sanubari

Aku lelah menulis
Pikiranku beku
Hatiku rancu
Tanganku ngilu
Terganjal batu

Biarkan malam candaiku
Mengetuk irama di kaca jendela
Tanah Jakarta
Tanpa tinta

Tuesday, November 18, 2008

Maafkan Ayah, Nak...

Maafkan ayah, Nak. Ayah ingkar lagi. Bukan karena ayah tidak mau, bukannya ayah tidak ingin. Tapi karena memang beginilah semua berjalan di luar kekuatan ayah. Ayah selalu ingin. Tak pernah berhenti...

Gak Ada Cinta Di Jakarta

Itu lelucon yang sering aku ucapkan, atau oleh teman-teman 'gilaku' saat tahu di kantorku ada rekan yang sedang kasmaran. Tentu saja kalimat itu tak tulus dari hatiku. Pun --aku yakin-- tak tulus dari hati teman-teman gilaku. Itu adalah lelucon paling tidak lucu yang sering terdengar di kantorku. Seperti jadi tren. Seperti jadi 'olokan' paling pas untuk membuat orang yang kasmaran bersemu merah, ngomel dan kadang-kadang langsung melempar kami dengan sekotak tisu sambil mengacungkan jari tengahnya. Kemudian kami tertawa bersama. Anehnya, lelucon ini tak pernah sisakan dendam dan tak pernah keluar dari dinding kantorku.

Tiba-tiba aku kepikiran, benarkah tidak ada cinta di Jakarta? Cinta seperti apa yang tidak ada di Jakarta? Cinta seorang kekasih kepada pasangannya? Mmm... entahlah. Cinta orang tua kepada anaknya? Cinta seorang pegawai kepada pekerjaannya?

Setiap pagi di hari kerja, hampir seluruh jalan di Jakarta menjadi 'medan perang'. Motor, mobil, angkot, bajaj, metromini seperti berlomba memiliki jalanan itu sendirian. Pernahkah kendaraan Anda tanpa sengaja menyerempet kendaraan lain? Apakah yang terjadi kemudian? Amarah plus emosi langsung mendominasi, bahkan kadang sampai langsung tonjok (pukul dulu, tanya belakangan).

Adakah cinta ketika seorang sopir metromini memaki habis-habisan karena berebut tikungan dengan kendaraan lain? Adakah cinta ketika seorang karyawan memaki seorang pesuruh kantor yang salah membelikan menu makan? Adakah cinta ketika seorang maling yang sudah tak berdaya dihajar hingga sekarat? Adakah cinta ketika orang saling pukul karena berebut masuk ke pintu bis Trans Jakarta? Adakah cinta di Jakarta?

Jakarta sebagai kota yang menyilaukan "hampir" sebagian besar warga 'daerah' memang menjadi tempat yang baik untuk belajar tentang cinta. Tak peduli cinta kepada siapapun. Bahkan cinta kepada Tuhan diuji ketangguhannya di sini. Paradigma bahwa Jakarta adalah surga pencaharian untuk menopang hidup membebani seseorang untuk survive dengan kekuatan yang dia miliki. Kekuatan yang bisa menghancurkan keimanan, kekuatan yang bisa luluhkan kepribadian, kekuatan yang bisa lelehkan kerendah-hatian, kekuatan yang bisa lumerkan cinta.

Adakah cinta di Jakarta? Kita masih saling membantu saat banjir melanda. Kita masih saling berebut ember untuk padamkan api yang membakar rumah tetangga. Kita masih saling mendoakan dan berjabat tangan usai Jumatan. Kita masih berbagi makanan dan pakaian kepada kaum papa si pelosok Jakarta. Dan seterusnya...

Adakah cinta di jakarta? Hanya Anda yang tahu jawabnya...

Sunday, November 16, 2008

Laporan Dong...

Ngantuk. Capek. Abis ikutan 'workshop' Om Adrie Subono di FX (walaupun gak lengkap, soalnya aku datang telat). Terus terang, aku lagi nunggu tulisan dari rekan blogger soal acara tadi (buat melengkapi 'data' di kepalaku). Emang lagi Go Blog, tangan dan mataku tetap saja menggerayangi mouse, klak-klik sana-sini, blogwalking tanpa menyerah.

Walaupun tidak dari awal berada di sana, secara umum workshop tadi keren banget. Om Adrie blak-blakan berbagi suka-dukanya membangun dan mengurus Java Musikindo. Cerita unik tingkah polah artis luar negeri yang didatangkannya juga bikin kita tidak bisa menahan tawa. Apalagi 'rahasia-rahasia' bisnis dan resep itung-itungan budget juga disentil dalam acara itu. Ah sudahlah, kita tunggu aja. Semoga ada tulisan lengkap Workshop tadi.

Ngantuk makin berat tapi mouse dan tangan masih melekat.

----------

Cuplikan acaranya ada disini, juga disini

Saturday, November 15, 2008

Biarkan "Kubunuh" Anakku...

Mahkamah Agung Italia mengabulkan permohonan seorang pria untuk mencabut selang makanan yang dihubungkan ke tubuh anak perempuannya yang terbaring koma berkepanjangan. Pria tersebut akhirnya dibolehkan untuk membiarkan putrinya itu meninggal setelah 16 tahun berada dalam kondisi koma.

Aku terpaku pada alinea pertama berita detikcom yang terhampar di mukaku yang kusut. Beberapa saat kemudian aku langsung habiskan berita itu sampai alinea terakhir. Ngenes! Sebagai seorang ayah, mungkin, ini mungkin, aku bisa sedikit rasakan bagaimana perasaan Beppino Englaro melihat anak yang dicintainya terbaring dalam kondisi vegetative state bertahun-tahun.

Bermula ketika pada tahun 1992 sepulang menjenguk salah satu temannya yang tengah koma, sebuah kecelakaan mobil menimpa Eluana Englaro. Saat menjenguk temannya Eluana sempat mencetuskan penolakannya untuk dirawat jika dirinya mengalami kondisi yang sama dengan temannya. Tapi ternyata takdir membawanya pada keadaan itu. Eluana koma selama 16 tahun.

Tulisan ini bukan hendak 'mengadili' keputusan Beppino Englaro, ayah Eluana. Tidak juga untuk mengamini penolakan berbagai pihak yang menolak --melalui pengadilan-- keputusan Beppino yang dianggap sebagai Euthanasia dengan melepas selang yang menyuplai makanan ke tubuh Eluana. Italia tidak mengizinkan praktek euthanasia yang menggunakan metode seperti penyuntikan obat dengan dosis mematikan. Pasien punya hak untuk menolak pengobatan, namun tak ada ketentuan yang mengatur jika pasien koma berkepanjangan.

Lebih jauh dari itu...

Keputusan Beppino-lah yang sebenarnya perlu dimengerti. Bagaimana seorang ayah sanggup menentukan pilihan paling menyakitkan atas keadaan anaknya. Tentu keputusan Beppino meminta pihak rumah sakit untuk mencabut selang itu didasari rasa cintanya yang teramat besar untuk anaknya. Ia tak sampai hati melihat Eluana (yang cantik itu) tergolek antara hidup dan mati selamanya. Dia lebih tahu, dia lebih merasakan --dibanding pihak yang menentang keputusan 'menyakitkan' itu-- kepedihan luar biasa untuk "mengakhiri" hidup Eluana, anaknya tercinta.

Aku Jadi ingat cuplikan cerita di buku Pin Yathay (Pertahankan Hidupmu Anakku -Kisah Nyata Korban Kekejaman Khemer Merah):
Orang bilang bahwa pengorbanan seorang ibu adalah mati bersama anaknya. Keliru--bila kematian sudah tak terelakkan, pengorbanan paling mulia seorang ibu adalah meninggalkan anaknya, hal itu untuk memperpanjang hidup anak itu.

Apapun itu, anak adalah cinta. Dia lahir karena cinta. Kita sebagai orang tua selayaknya menjaga, melindungi dan mendidiknya walaupun kadang harus melalui jalan terpahit...

Semoga ada keajaiban untuk Eluana...

Friday, November 14, 2008

Berhenti Ngeblog!

Mungkin aku kuwalat. Beberapa waktu lalu sempat mengomentari tulisan di blog Fanabis yang berjudul "Disetrap Facebook". Aku gak habis pikir, masak sih sampai segitunya Mbah KW kesengsem Facebook. (Mungkin) Aku sudah punya Facebook lebih dulu dari pada Direktur Fanabis itu, tapi sampai hari ini aku belum melihat keasyikan di sana, selain pernak-pernik yang rumit menurutku (Duh, ndeso banget ya aku...).

Memang, selain untuk melihat foto teman (yang lebih sering diupdate daripada Friendster), si "Buku Muka" ini menawarkan 'intervensi' user yang lebih asik dan jamak. Dan aku adalah orang yang sama sekali tidak bisa memanfaatkan si Buku Muka itu. Bukannya tidak mau, tapi benar-benar tidak bisa alias ora dong, not understand!

Satu-satunya mainan yang bisa bikin aku teler ya si blog ini. Aku kayak kesurupan blog (paling tidak sampai saat tulisan ini ditulis). Bayangkan, hampir setiap 5 menit aku membuka blog (selama 24 jam!). Kemudian baca postingan sana-sini, komen sana-sini dan sesekali posting tulisan sendiri.

Bukannya tidak punya kerjaan, tapi gerakan Go Blog ini tidak bisa aku hentikan. Misalnya, sambil menunggu komputer loading membuka aplikasi, iseng-iseng buka browser: Eh, blog juga yang dibuka. Lalu? Baca postingan sana-sini, komen sana-sini dan sesekali posting tulisan sendiri. Parah!

Kalau tidak segara dihentikan, bisa jadi semua kerjaanku akan berantakan. Tapi gimana caranya? Aku seperti dapat tempat untuk bicara menulis semauku di blog ini. Belum lagi kalau mendapat teman-teman yang bikin mules pas ngasih komen saking lucunya.

Pusinggg!

Thursday, November 13, 2008

Singkong Super

Tadi siang (di JCC, Indocomtech) perutku melilit minta di isi karena sejak pagi tak sesendokpun nasi aku nikmati. Sambil lirik kanan-kiri melihat pemandangan mengenaskan SPG (Sales Promotion Girl) beberapa perusahaan yang kekurangan kain untuk seragamnya (serba minim dan tinggi --roknya tinggi), aku mencari tempat makan di arena pameran.

Mmm, sepertinya di lantai 2 ada tempat makan yang asyik. Sambil melihat antrian dan banyaknya Pramusaji berseragam orange yang keren-keren, aku menakar harga yang akan aku terima saat aku makan nanti. Dijamin pasti tinggi dan menyayat hati. Setelah berdiskusi (tepatnya berbisik) dengan temanku yang sama-sama kelaparan, akhirnya aku (dan temanku tadi) urung makan di sana.

Dengan gontai aku meninggalkan 'warung makan ekskusif' itu, keluar hall JCC dan menuju warung makan kaki lima yang berada tak jauh dari gedung itu. Tepatnya di sebelah gerbang masuk JCC, sebelah area parkir motor.

Jangan tanya suhunya sepanas apa. Sejak perjalanan menuju ke warung kaki lima itu, keringat sudah membasahi kening dan punggungku. Apalagi saat duduk di salah satu warung itu. Huahhhh! Tempat yang sempit, tenda yang pendek, matahari tengah hari bolong dan cucuran keringat makin membuatku berasa mandi sauna (suerrr, cuma tau mandi sauna di film-film, belum pernah sekalipun!).

Aku pesan ayam goreng dan teh botol. Total Rp 15.000,-

Agak kaget juga dengan harga itu. Sepertinya semua jadi serba mahal sekarang. Apakah ini artinya krisis dunia sudah dimulai? Atau memang aku yang rada pelit pada diri sendiri sehingga menganggap harga itu gak 'setimpal' dengan menu yang aku terima? Kemahalan? Kok iya menurutku!

Sebelum kembali ke hall JCC mataku tertuju pada tumpukan singkong goreng mengepul di depan warung tempatku makan tadi. Kukeluarkan selembar 5 ribuan dan menunjuk singkong itu sebagai penggantinya. Uedannn, aku dapet 5 potong singkong! Berarti satu singkong goreng harganya Rp 1.000,-? Kemahalan? Lagi-lagi iya menurutku!

Sambil berjalan menuju hall aku berpikir, suatu hari singkong ini bisa berharga Rp 1.000.000,- sepotong. Entah kapan...

Wednesday, November 12, 2008

Haruskah Aku Akhiri Kesabaran Ini?

Aku harus mempunyai kesabaran berlebih. Beberapa kali ini saudaraku mengeluarkan lidah api yang melecuti tubuhku dengan lisan tak terputus. Memvonisku dengan petuah-petuah licin yang sesungguhnya tak dia mengerti artinya. Apakah ini perlu? Apakah ini harus?

Kadang-kadang aku bertanya dalam hati, siapakah sebenarnya dia, malaikat surga yang memapahku menuju jalan benderang yang di jalan-Mu? Atau seorang yang bersuci di depanku sementara tanduk dan ekor berujung tombak mengibas di belakangnya?

Atau dia hanya ingin menjatuhkanku pada kaki-kaki di sekelilingku? Agar dia bisa berdiri lebih tinggi dengan jumawa sambil bertahta "Akulah jalan lurus!". Entahlah. Saat mencoba melawannya dengan lidah yang sama berapi, dia selalu bisa padamkannya.

Aku menghindari konfrontasi dengan siapapun. Tapi ini justru menjadikan bumerang yang melemahkanku. Bukan tak miliki jiwa perang seperti laki-laki lain, tapi energiku hanya terbuka pada kekuatan yang lain. Kekuatan merambahi setiap persoalan dengan kepala sedingin salju. Sekalipun hati beku membiru... hingga saatnya nanti...

Haruskah aku akhiri kesabaran ini?

Tuesday, November 11, 2008

Maureen Jatuh Cinta

Rambutnya cepak simpel ala Demi Moore di film Ghost (1990). Penampilannya boleh dibilang ‘biasa’. Tidak ada yang istimewa dari caranya berdandan. Dia tak kenal lipstik, gincu atau maskara. Alami. Alisnya asli tanpa dibentuk dengan pensil atau tato alis. Hidungnya mancung lancip. Tapi sungguh, itulah yang justru membuat setiap orang senang menatap wajahnya berlama-lama. Tak peduli laki-laki atau perempuan.

Namanya Maureen, dia adalah adik kelasku. Walaupun begitu dia cukup dekat denganku. Mungkin karena dia begitu enerjik dan ramah, mau tak mau semua orang jadi kenal dengannya. Badannya boleh dibilang kurus untuk cewek setinggi dia. Suaranya cempreng dan medok Jawa saat berbahasa Indonesia, tapi dia cuek aja. “Jawa is my country,” katanya saat orang meledek karena aliran medokisme-nya.

Sudah seminggu ini Maureen menjadi pendiam. Dia yang biasanya menyapa kanan-kiri dan bahkan iseng colek kanan kiri saat menuju kelasnya kali ini berjalan gontai melewati kerumunan teman-temannya yang terbengong-bengong melihat perubahannya. Wajahnya tidak pucat, artinya dia tidak sakit. Tapi, ah, tapi, ya ampun…

Semua terkesima melihat wajah Maureen hari ini. Walaupun alisnya masih utuh tapi bulu matanya lebih hitam dari biasanya tanda ia memolesnya dengan maskara. Pipi kiri kananya bersemu merah muda adonan gincu. Dan, mmm, bibirnya, lipstik merah muda dengan efek basah memantulkan cahaya saat benturan dengan sinar matahari pagi ini.

“Maureen, kamu sakit?” Tanyaku yang mencegatnya saat dia hampir melewati tempatku berdiri.

“Eh, hai, nggak kok, aku gak sakit,” jawabnya kelabakan.

”Tapi kamu kok….”

“Kenapa, perubahan ini? Aku ingin ganti suasana Mas. Gak apa-apa kan? Bagus gak mas? Cocok gak?” Gantian aku yang mlongo mendapat cecaran pertanyaan dari Maureen.

“Cocok. Kamu tetap cantik kok,” kataku berbohong. Padahal sejujurnya aku suka wajahnya yang alami sebelumnya. Tapi aku harus bohong supaya dia tidak kecewa. Bukankah bohong untuk kebaikan itu tidak apa-apa? (emang iya? huuu…).

Sejenak kemudian Maureen sudah menjauh dariku. Aku hanya bisa pandangi tubuhnya dari belakang sampai menghilang di dalam kelasnya.



“Dul, udah denger gosip soal Maureen?,” tanya Nyo, sohib kentalku.

“Maureen kenapa?,” aku balik bertanya dengan muka andalanku; Muka blo’on!

“Mauren udah punya pacar sekarang. Dia dah kenalin pacarnya tadi pagi ama sohib-sohibnya…”

“Woo, baguslah kalau begitu,” kataku datar. Aku tidak ambil pusing Maureen sudah punya pacar atau belum, karena sekalipun cantik, Maureen bukan cewek impianku. Aku bergegas menuju parkiran motorku di belakang gedung.

“Woi, woi, woi, lu gak nanya Maureen pacaran ama siapa?” Nyo mengejarku. Dia penasaran aku tak tertarik mendapat informasi lebih jauh tentang Maureen. Aku mengangkat alisku, tanda menunggu Nyo melanjutkan kalimatnya.

“Maureen pacaran ama Bas.”

Jederrrr!!!
Bas? Bas si manusia sejuta aroma itu? Bas yang setiap gerakannya menebarkan aroma menyiksa bagi mahluk hidup di sekitarnya? Bas yang rambutnya sudah dwiwarna dan tak bercahaya itu? Bas yang setiap makan bareng di Warteg selalu minta nambah rendang jengkol campur rentetan petai bakar itu? Bas yang keberadaannya bisa tercium dari jarak 10 meter tanpa melihat dia berdiri di sebelah mana itu? Kok Bas sih? Kok Maureen pacaran ama si Bas?

Aku tak habis pikir. Maureen, wanita secantik itu akhirnya jatuh cinta pada Bas, pemuda biasa aja yang jarang diperhitungkan cewek-cewek di dunia. Walaupun, ya, walaupun sejujurnya aku tidak ada masalah dengan Bas. Tapi Kenapa dia ya? Kenapa Maureen tidak menerima cowok lain yang jatuh bangun mengejarnya selama ini? Apa yang ditemukan Maureen dari keadaan Bas sekarang ini? Bas bukan milyarder juga. Apa sih ’sesuatu’ yang membuat Bas istimewa di mata Maureen? Jangan-jangan Bas main dukun…

Gubrak!
Tiba-tiba kepalaku sudah berada di aspal (Untung pakai helm). Aku kaget setengah mati. Seorang pedagang asongan tergeletak di depanku sambil meringis dan memaki ke arahku, tangannya mengacung-acungkan tinju. Aku lihat dagangannya berantakan. Aku melihat sekeliling, semua orang menatapku dengan kemarahan. Bahkan beberapa tukang becak memaki dan menyalahkanku sambil menuding mukaku. Aku masih bingung. Semua gara-gara Bas! Semua gara-gara Maureen!

Atau semua gara-gara aku?

Rindu Pada Sendiri

Rinduku pada anak-anakku memuncak.
Sedang apa engkau Nak?
Ceritakan harimu kepadaku malam ini
Lewat mimpi

Sebait itu saja yang muncul di kepalaku. Hujan deras di Jakarta ingatkanku pada sepi yang kudiami. Aku sendiri memungut sunyi pada kumpulan orang-orang yang mengais nasi sendiri-sendiri.
Rinduku pada anak-anakku memuncak.
Sedang apa engkau Nak?
Ceritakan harimu kepadaku malam ini
Lewat mimpi

Suara telpon berdering manja meminta diterima. Berbicara aku pada kebisuan semata. Karena nada sudah sirna. Seperti celurut yang gontai tak temukan rongga menganga. Seperti elang tak temukan ranting tuk sarangnya.

Sendiri ini sudah lewati batas. Membelah kepala yang telah meretas. Terlipat seperti kertas. Tak menetas

Monday, November 10, 2008

Esok Hari Engkau Mati!

Apa yang kita lakukan jika kita mendapat berita: "Esok Hari Engkau Mati"? Apa yang kita langsung lakukan mendengar daulat itu? Apa yang kita lakukan saat kita mendengar trompet Sangkakala kematian memekak telinga kita? Memeluk orang yang kita cintai; orang tua, suami, istri, anak, saudara, kerabat? Atau seketika langsung membersihkan diri dan bersimpuh sesuai keyakinannya berharap pada "pensucian" diri seketika? Atau justru merampungkan proyek duniawi yang belum terlaksana sesuai rencana? Membeli ini itu, pergi ke sana-sini, dan sebagainya?

Aku tak habis pikir, jika jadwal kematian manusia dipublikasikan secara umum, apa yang akan terjadi pada dunia? Kekacauan massal atau justru peningkatan religiusitas serempak di penjuru dunia? Orang saling memanfaatkan sisa waktu untuk sampai pada pencapaian duniawi atau malah saling berbelas kasih-berbagi cinta kepada sesama manusia?

Siklus waktu telah mengajarkan bahwa kematian pasti datang, entah kapan. Bahkan sebagian orang pahami bahwa bunuh diri-pun sebenarnya telah digariskan. Bunuh diri bukan jalan pintas mendahului ke-Maha Pengertian Tuhan. Semua masih dalam pengawasan-Nya. Bunuh diri, bencana alam, perang dan sebagainya adalah tetap dalam rencana-Nya. On schedule dalam buku catatan Tuhan.

Betapa besar kepasrahan pejuang-pejuang yang membela tanah airnya, membela agamanya dan membela harkat dan martabatnya sebagai manusia. Karena pejuang sebenarnya pahami bahwa dia telah berserah kepada Tuhan melalui perang. Perang yang tak jamin dia kembali pulang kepada keluarganya, pun tak jamin dia akan binasa di medannya.

Selamat Hari Pejuang! Selamat Hari Pahlawan!

----

Tulisan ini terinspirasi opini publik mengenai hukuman mati terhadap terpidana mati kasus Bom Bali, juga tentang Hari Pahlawan. Ditulis dari cara pandang yang nyleneh tentang kematian...

Michael Learns To Rock - Sleeping Child

The Milky Way upon the heavens
is twinkling just for you
and Mr. Moon he came by
to say goodnight to you

I'll sing for you I'll sing for mother
We're praying for the world
and for the people everywhere
gonna show them all we care

Oh my sleeping child the world's so wild
but you've build your own paradise
That's one reason why I'll cover you sleeping child

If all the people around the world
they had a mind like yours
we'd have no fighting and no wars
there would be lasting peace on Earth

If all the kings and all the leaders
could see you here this way
they would hold the Earth in their arms
they would learn to watch you play

Oh my sleeping child the world's so wild
but you've build your own paradise
That's one reason why I'll cover you sleeping child

I'm gonna cover my sleeping child
Keep you away from the world so wild

Thursday, November 6, 2008

Kerispatih - Tentang Sebuah Kisah

Mereka takkan pernah
Tau tentang kita
Tak pernah sedikitpun
Pahami kisah kita

Sudahlah jangan lagi
Mencoba tuk bersedih
Ada aku disini
Mengerti perasaanmu

Hari ini ku harus katakan
Aku mencintaimu
Bukan karena siapapun
Atau bukan karena mereka

Cinta itu butuh pengorbanan hati
Dan cinta tak butuh waktu yang sesaat
Jika kita bertahan
Cinta itu milik kita

Jika cinta dasar dari semua ini
Hadapilah segalanya
Dengan lapang dada
Meski pahit disana

Tuesday, November 4, 2008

Start The Day With A Cup of Coffee

Wanita kurus kulit putih mata sipit dengan kacamata minus sedang itu adalah kawan baruku. Orangnya simple, enerjik dan kadang-kadang unik. Setiap pagi dia ke kantor dengan backpack Converse hitam yang nangkring di punggungnya, seperti koala.

Buatku, orangnya agak nyentrik. Untuk ukuran wanita dia tidak peduli dengan dandanannya. Bukan kumal, bukan berantakan, dia tetap bersih. Hanya jauh lebih biasa daripada wanita pekerja di Jakarta ini. Bayangkan hampir tidak pernah aku melihatnya memoles bibirnya dengan lipstick, atau mendapati pipinya merona merah karena polesan gincu. Rambutnya juga tidak berkiblat pada rambut-rambut masa kini. Aku yakin, dalam sepuluh tahun berlalu rambutnya tidak berubah selain hanya panjang dan pendeknya saja. Uniknya...ya uniknya...dia tak ambil pusing dengan penampilannya. So what gitu lho, kata dia...

Start the day with a cup of coffee. Mm, kalimat itu selalu mengiringi nickname-nya di list Messenger-ku saat dia online. Artinya, beberapa centimeter dari tangannya --aku yakin-- segelas kopi panas sudah menanti direguknya. Kopi. Ah, bicara soal kopi ingatkanku pada kebiasaanku yang juga gila kopi. Sampai gejala batu ginjal aku dibuatnya.

Pagi ini, seperti biasa aku sibuk dengan pekerjaanku yang tak kunjung usai (kerjaan habis = kantor tutup). Rutinitas. Baju rapi, badan wangi dan sedikit berisik obrolan pagi kawan-kawanku satu kantor menjadi hal yang biasa buatku. Sepertinya tidak habis cerita sekalipun mereka bertemu setiap hari. Selalu ada bahan bicara.

Kopi dengan creamer tinggal setengah cangkir di hadapanku. Bolak-balik kulihat list Messenger di komputerku, mm...belum ada status yang aneh di dalamnya, selain keluhan-keluhan atas pagi yang cerah ini. Aku belum melihat wanita kurus kulit putih mata sipit dengan kacamata minus sedang itu online.

Sepuluh menit, tiga puluh menit, satu jam, dua jam, tak juga aku lihat status Messenger itu menyala. Aku bertanya dalam hati, apakah dia tidak kerja hari ini? Eitt, peduli apa aku, toh dia hanya teman. Aku juga sudah berkeluarga dengan istri dan anak-anakku yang lucu. Aku juga bukan boss-nya yang melotot jika dia lalai dengan pekerjaannya. Kebiasaan melihat status Messenger-nya-lah yang membuatku merasa itu bagian dari salah satu rutinitas harianku.

Akhirnya kuabaikan ketergantungan itu. Aku melanjutkan pekerjaanku mengolah, mengulik, mengukur, menilai bentuk, warna dengan rasa dan mata. Sesekali tangan kiriku menarik cangkir kopi di sisi kiriku dan menenggak isinya perlahan. Sampai tiba-tiba...

Ding! Aku melihat status Messenger nickname yang aku kenal online. Secepat kilat aku buka list Messengerku untuk memastikan wanita kurus kulit putih mata sipit dengan kacamata minus sedang itu sudah bertengger di mejanya.

"Start The Day With Tears". Hah? Aku terheran-heran, baru pertama kali aku melihat perubahan status Messenger-nya seperti itu. Ada apa dengannya? Apakah dia ditimpa musibah dalam perjalanan ke kantor? Sesiang ini? Atau dia berpisah dengan kekasihnya? Atau sesuatu terjadi pada keluarganya? Penasaran aku memberanikan diri menyapanya lewat Messenger itu...

"Pagi. Ada apa, kok tumben statusnya berubah? Ikut sedih ya..." Aku coba memberi simpati kepadanya.

"Pagi. Iya aku lagi sedih, tapi aku gak bisa cerita ke kamu Mas..."

"Oh ok, gak apa-apa. Semoga kamu kuat ya. Kesedihan itu bisa dilalui kok kalo kita kuat. Sabar ya friend," Aku coba menghiburnya. Sejujurnya aku penasaran atas kesedihannya. Biasanya dia banyak bercerita tentang apa saja kepadaku. Tapi pagi ini aku tidak mau memaksanya.

Tak berapa lama aku dipanggil Bossku. Sejarah mencatatnya! Aku tertawa dalam hati. Setelah lebih dari lima tahun bekerja di kantor ini, inilah pertama kalinya aku dipanggil boss-ku. Mungkin sudah waktunya aku mendapat promosi, hiburku.

"Tok, tok, pagi Pak," aku mengetuk pintu sambil melongok ke dalam ruangan bossku yang luas dan asri.

"Pagi Dul, silakan duduk. Apa khabar?"

"Baik Pak. Ada apa Pak?"

***

Aku duduk menatap kosong List Messenger di komputerku. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku bisa menghidupi keluargaku? Kemana lagi aku harus mencari kerja? Setelah lima tahun lebih bekerja aku di-PHK dengan alasan tidak produktif lagi? Pesangon yang aku terima juga tak seberapa besar untuk bertahan hidup selama beberapa bulan sambil mencari kerja baru. Bagaimana aku ceritakan ini pada keluargaku?

Lamat-lamat aku mendengar bisik-bisik bahwa posisiku akan digantikan wanita kurus kulit putih mata sipit dengan kacamata minus sedang itu!

Hujan Senja Hari

Hujan melibas Jakarta dengan selimut dingin bekukan sungsumku. Kutarik kerah leher jaketku lebih ke atas agar berikanku kehangatan berlebih. Aku masih saja membaca sebuah buku Pin Yathay tentang kanak-kanak korban perang Khmer Merah. Sedari tadi aku sudah larut pada buku yang ada dihadapanku. Sebenarnya dingin dan hujan tak begitu menggangguku karena aku sudah temukan hangat di kafe ini --dengan sepiring pisang keju dan segelas coklat panas--. Jadi aku masih menikmati setiap kata-kata di buku meskipun derai hujan menggelitik kaca di sampingku. Sampai suatu ketika...

"Sayang, alangkah kami butuh pelukmu di hujan dan petir senja ini"

Aku menoleh ke kanan dan kekiri. Kucari sumber suara yang dekat sekali di telingaku tadi. Sepi. Tak kulihat satupun orang berada di dekatku. Hanya ada dua meja yang terisi selain mejaku. Itu juga tidak terlalu dekat dengan mejaku. Satu orang duduk di sebelah kananku dipisah satu meja besar. Sementara yang lain lagi --ada 3 orang-- duduk di satu meja yang jaraknya lebih jauh dari orang pertama tadi. Tepatnya di sudut setelah lewati empat meja di sebelah kiriku. Jadi tak mungkin dari mereka mempunyai kecepatan super untuk berbisik di telingaku dan bak kilat kembali ke tempat duduknya semula.

"Sayang, alangkah kami butuh pelukmu di hujan dan petir senja ini"

Mmm, kalimat itu berulang lagi di telingaku. Kali ini aku bersiap melayaninya. Kututup buku ditanganku dan meletakkannya di meja. Di antara gelas dan sepiring pisang goreng keju yang belum separuh kusentuh.

"Siapakah engkau?" tanyaku sambil memejamkan mata, berharap telingaku lebih jeli mengenali suara-suara itu.

"Sayang, tidakkah engkau ingin memeluk kami? Hangatkan kami di dingin dan hujan senja ini? Kami teringkuk berpelukan di kamar terhasut kengerian pada petir yang menyambar-nyambar di luar sana"

Ah, suara itu. Aku mengenalnya. Suara belahan jiwaku nun jauh di dalam tubuhku yang paling dalam. Di satu kamar sederhana di dalam hatiku. Meringkuk di atas dipan jati di sebelah jantungku sambil menunggu cemas kedatanganku yang dapat tenangkan dan hangatkannya.

"Cintaku, aku akan datang dan temani kalian hadapi hujan dan dingin senja ini. Tunggulah barang sejenak, akan aku bawakan selimut tebal bulu-bulu hangat, secangkir coklat panas dan selusin donat empuk sebagai buah tangan buatmu," aku coba tenangkan belahan jiwaku yang masih berpelukan di sudut dipan. Aku tersenyum hiba pada mereka.

"Sayang, hanya engkau yang kami butuhkan. Pelukmu pada kami adalah selimut paling hangat yang kami inginkan. Candamu bersama kami melebihi nikmatnya secangkir coklat panas yang kami butuhkan, dan belaian tanganmu adalah sentuhan terempuk daripada tumpukan donat rasa apapun..."

Aku buka mataku. Kuletakkan secarik uang kertas sebagai pengganti sepiring pisang keju dan secangkir coklat yang mulai dingin di atas meja. Kuambil buku yang kugeletakkan di atas meja tadi dan bergegas meninggalkan kafe itu. Kupejamkan mata. Kunaiki angin yang berhembus basah di kota Jakarta, menembus dimensi dunia khayal dalam tubuhku sendiri. Melewati jantung, menembus rongga-rongga di antara rusuk-rusukku dan mencapai rumah hatiku yang terang bercahya. Rumah indah yang kami pagari dengan daun-daun cinta dan tumbuhan kasih sayang.

---------

Untuk kalian belahan jiwaku nun jauh di sana...

Monday, November 3, 2008

Dia Bukan Pusat Tata Surya!

Baru saja sakit hati, tapi tidak jadi. Nanti dikira aku seburuk pikirannya. Tapi apa mau dikata sakit hati ini tiba-tiba berdiri. Bukan sakit hati kepada dia, tapi sakit hati pada pemikirannya yang terlalu sempit.

Ada orang menulis tentang dirinya, tentang pemikirannya, tentang karakternya, tentang ka-aku-annya. Dia merasa dirinya adalah kebenaran, bahkan dia canangkan dirinya sebagai pusat tata surya pola pikir manusia. Dia mengaku manusia sosial, tetapi kepedulian dia hanya sebatas lidah (Yang sesungguhnya malah masukkan dia pada kelompok manusia 'tak peduli').

Orang yang aneh. Dia bicara tentang agama, dia bicara tentang hukum, dia bicara tentang Ketuhanan, tapi dia sendiri cerita tentang bagaimana dia tidak ambil pusing dengan sekelilingnya. Dia menjelekkan bangsa lewat mulutnya tapi malah dia sendiri yang permalukan bangsanya. Dia merasa menjadi bangsa dengan ras, pekerti, agama, sosial dan budaya yang tinggi tapi dia tak lebih dari orang yang menggerogoti pengetahuannya sendiri.

Dari tulisannya dia salahkan siapapun di sekelilingnya, orang tuanya, saudaranya dan semua kehidupan di sekelilingnya atas keadaannya sekarang. Tapi dia berdalih dan bersembunyi di balik kata-katanya yang berbisa dengan memutarbalikkan fakta.

Dia mengkultuskan dirinya sendiri dengan memiliki nilai keimanan yang teramat besar dengan selalu "dekat" dengan Tuhan (hanya Nabi, manusia yang sangat "dekat" denganMu). Karena nabi tidak punya dendam, tidak punya kebencian, penuh cinta kasih dan peduli dengan sekelilingnya. Sementara dia masih mempunyai kebencian pada sesama, menghasut orang membenci bangsa lain dan merasa bangsanya sendiri yang paling mengerti peradaban, keimanan, hukum dan pola pikir yang lebih tinggi dari bangsa lain. (Sayang sekali, mulutnya lebih besar dari isi kepalanya...)

Sepertinya tak ada cermin di rumahnya. Sepertinya tak ada atlas atau bola bumi di kamarnya. Jadi dia tak mengerti sedikitpun tentang siapa dia sesungguhnya, berada di mana dia sesungguhnya.

Di akhir tulisannya dia berkata bahwa hanya orang bodoh yang tersinggung, marah atau sakit hati. Seperti jebakan yang mengharuskan orang yang terusik --karena sisi manusianya justru lebih normal-- untuk HARUS diam dan mengamini opininya. Sementara yang diam akan dijadikan sekutunya karena dipaksa sepaham dengannya.

Masih saja ada orang biasa dari bangsa biasa yang merasa luar biasa. Semoga aku dijauhkan dari orang seperti itu. Dan semoga dia segera kembali menjadi manusia rendah hati yang berpikir manusiawi. Amin.

Aku Hanya Ingin

Aku ingin bisa
Bisa ini bisa itu
Bisa begini bisa begitu

Aku ingin mampu
Mampu ini mampu itu
Mampu begini mampu begitu

Aku ingin sanggup
Sanggup ini sanggup itu
Sanggup begini sanggup begitu

Aku ingin dapat
Dapat ini dapat itu
Dapat begini dapat begitu

Aku hanya ingin...

Tahukah Engkau Anakku?

Sedang apa engkau di sana Nak? Terlelap dalam mimpi indahmu? Sudahkan engkau merengek memanggilku lagi buatku temanimu tidur? Sudahkah engkau melamun lagi membayangkan kita jalan-jalan di kotamu sebelum matamu terpejam?

Anakku sayang, sudahkah engkau merajuk mengatakan betapa tidak enaknya kotamu tanpa aku? Sudahkah engkau rengek-kan bahwa kamu ingin liburan denganku? Sudahkan engkau susun rencana untuk membeli kalung, gelang, cincin, boneka, pensil, tas, bolpen, stabillo, lem, penghapus, kertas surat, buku, penggaris, tempat pensil, sandal, baju, bandana, mobil, donat, berlian, motor, kopi, jajanan, sarung tangan, kacamata, dan semua pernak-pernik kesukaanmu jika aku datang?

Sayangku, apakah engkau masih memeluk boneka Dino-mu sambil berkata "ayah, selamat bobok ya..." sebelum tertidur? Masihkah engkau berharap aku membelamu saat kawan-kawan nakalmu mengganggu? Masihkah engkau menungguku menemanimu bermain sepeda sambil bercanda? Masihkah engkau memanggilku saat bangun tidur dengan mata yang belum terbuka?

Anakku sayang, apakah isi kepala kanak-kanakmu pahami di sini akupun mati rindu kepadamu? Apakah kerianganmu mengerti bahwa seluruh isi kepalaku memikirkanmu setiap waktu? Apakah engkau sadari, wahai anakku, aku selalu ingin melihatmu pertama kali saat engkau buka matamu di pagi hari?

Mungkinkah engkau mengerti duhai anakku sayang, tangismu, lukamu, sakitmu, deritamu adalah kepedihanku yang paling besar? mengertikah engkau, tawamu, riang gembiramu, senyummu adalah bahagia tak terkira di sepanjang hidupku? Tahukah engkau anakku, aku ingin memelukmu?

Friday, October 31, 2008

Membaca Air Mata

Hari ini aku membaca air mata. Air mata yang mengalir melewati pipi putih wanita cantik dan kemudian pecah berhamburan di lantai yang kusam. Seperti hujan. Air mata itu seperti ingin wakili kesedihan yang dalam. Kesedihan yang menghujam dan meremukkan segala isi dada. Air mata kesedihan. Terbata-bata dia bercerita tentang seribu duka.

Mataku meruncing menyorot tajam air mata yang masih mengaliri cerita duka yang keluar dari bibir merah wanita itu. Aku mengikutinya dari awal saat kelopaknya basah digenangi air mata. Ketika mata indahnya berkedip, genangan air itu seperti diperas dan meluncur dari sudut-sudut matanya yang memerah. Sesaat dibarengi sesenggukan yang buat tubunya tergoyang beberapa kali. Selanjutnya, air mata itu melewati lagi pipi putihnya dan seterusnya...

Tak ada keinginanku untuk membasuhnya dengan kertas tisu atau ujung bajuku. Tidak juga dengan sapu tangan atau jari-jariku. Aku hanya melihat, memperhatikan dan menyimak cerita duka yang dibaginya denganku. Bukan karena keangkuhanku atau kekakuanku, tapi karena sesungguhnya peranku hanya sampai di situ: Mendengar! Itulah yang seharusnya terjadi.

Jika memungkinkan, di akhir cerita nanti aku bisa tenangkan hatinya, sekedar untuk membantunya memapah jiwanya yang lunglai dibantai kesedihan tak terperi. Itupun jika aku mampu. Jika tidak? Yang dia butuhkan saat ini hanya pundak dan lenganku untuk menjadi sandar dan naungan kepalanya.

Aku selami kesedihan itu. Aku cicipi kedukaan itu. Aku rasai kepedihan itu. Karena sepertinya bibirnya tak perlu berbicara, karena air matanya sudah banyak bercerita...

Thursday, October 30, 2008

Rehabilitasi Pikiran

Seminggu lalu aku tak berdaya. Himpitan pikiran dan keuzuran tubuhku tak kuat lagi bertahan pada kondisi alam yang sedang berubah. Tak pelak lagi, seluruh badanku tak berenergi. Kalaupun ada, adalah energi yang hanya mampu untuk mereguk segelas air dan butiran-butiran pahit obat dari dokter. Kali ini aku kalah (hei, siapa yang bisa melawan alam!). Kupasrahkan keadaanku waktu itu pada kenyataan seadanya.

Pada balutan baju-baju tebal yang menutup seluruh tubuhku aku meringkuk setiap hari, menahan dingin luar biasa yang datang entah darimana. Belum lagi seluruh kamar yang berputar mengelilingiku, seperti tengah menari dan mencibir pada secuil otakku yang mendorongku pada kesakitan ini.

Siapa yang ingin sakit? Apakah benar sakit itu berasal dari pikiran? Apakah sakit itu karena kita masih berpikir tentang bagaimana untuk tidak sakit? Apakah sakit itu efek dari "karena kita punya pikiran?" Apakah sakit itu sebenarnya kita yang membuatnya?

Aku ingat, pernah memperhatikan orang gila di suatu jalan di kota kelahiranku saat aku kecil. Orang itu tanpa baju, kulit hitam kotor, rambut gimbal. Intinya keadaannya benar-benar 'gila'. Tetapi badannya tegap dan terlihat sehat. Tak pernah kulihat dia mengenakan pakaian sekalipun hujan atau panas menyengat. Dan tak pernah kulihat dia tergeletak mengindikasikan bahwa dia sakit atau lelah. Setiap berangkat sekolah aku selalu melewatinya (karena dia sering mengais makanan di bak sampah di jalan menuju sekolahku). Dan itu berjalan setiap hari selama bertahun-tahun...

Apakah harus 'tak berpikir' untuk tidak sakit?

Dulu, seorang artis cantik yang pernah mengidap kanker (sekarang sudah sehat) pernah mengatakan di sebuah infotainment, bahwa kesehatan itu banyak dibantu oleh pikiran. Jika kita sakit parah misalnya, kata dia, tapi pikiran kita yakin bahwa kita dapat sembuh dan sehat, maka akan ada energi positif dari dalam yang mempercepat kesembuhan. Tapi jika kita sakit ringan, demam misalnya, tapi pikiran kita soal kematian dan kesengsaraan, ya sengsara dan matilah kita.

Sementara aku tergolek sakit dengan tidak berpikir apa-apa. Karena memang tidak bisa berpikir apa-apa. Hanya rindu bermain dengan anak-anakku untuk merehabilitasi pikiranku...

----

Notes: Suatu siang ada telpon nyasar ke ponselku. Kupikir maha penting, dengan lemah kuraih ponsel itu. Terdengar suara di seberang sana, "Halo, bisa ke warnet sebentar? Si Anu minta list kebutuhan bla...bla...bla. Ditunggu hari ini, soalnya mau bla...bla...bla...". Sepertinya aku kirim kabar kalau aku sakit sehari sebelumnya...

Didi Kempot - Sewu Kuto

Sewo Kuto Uwis Tak Liwati
Sewu Ati Tak Takoni
Nanging Kabeh
Podo Rangerteni
Lungamu Neng Endi
Pirang Tahun Aku Nggoleki
Seprene Durung Biso Nemoni

Wis Tak Coba
Nglaliake Jenengmu
Soko Atiku
Sak Tenane Aku Ra Ngapusi
Isih Tresno Sliramu

Umpamane Kowe Uwis Mulyo
Lilo Aku Lilo
Yo Mung Siji Dadi Panyuwunku
Aku Pengin Ketemu
Sanajan Sak Kedeping Moto
Kanggo Tombo Kangen Jroning Dodo

Friday, October 17, 2008

Michael Bolton - Said I Love You, but I Lied

You are the candle, love's the flame
A fire that burns through wind and rain
Shine your light on this heart of mine
Till the end of time
You came to me like the dawn through the night
Just shinin' like the sun
Out of my dreams and into my life
You are the one, you are the one

Chorus:
Said I loved you but I lied
Cause this is more than love I feel inside
Said I loved you but I was wrong
Cause love could never ever feel so strong
Said I love you but I lied

With all my soul I've tried in vain
How can mere words my heart explain
This taste of heaven so deep so true
I've foud in you
So many reasons in so many ways
My life has just begun
Need you forever, I need you to stay
You are the one, you are the one

You came to me like the dawn through the night
Just shinin' like the sun
Out of my dreams and into my life
You are the one, you are the one

Wednesday, September 24, 2008

Terjebak

Kantuk hinggapi aku lagi. Seharusnya mataku terbuka dan otakku bekerja. Tapi di ruangan ini hanya kantuk yang benar-benar jalankan tugasnya. Sisanya adalah suara orang-orang yang saling berbicara tentang konsep, mimpi dan strategi mencari uang.

Aku sudah coba ikuti aliran obrolan orang-orang pintar di sekelilingku, tapi apa daya. Keterbatasanku jauhkanku dari lingkaran konsep, mimpi dan strategi yang saling bersahutan di atas kepalaku.

Aku tertawa dalam hati. Bingung dengan apa yang mereka bicarakan. Atau mungkin justru mereka yang tertawakanku karena melihatku salah tingkah di dalam perkumpulan ini? Entahlah...

Aku berdoa mengharap waktu berjalan lebih cepat di ruangan ini. Supaya ini segera berakhir dan hidupku kembali pada keadaan sebelumnya.

Beban, Siapa Kamu?

Beberapa hari ini enerjiku terkuras untuk bekerja. Tak ada yang bisa hentikanku mengulik, menarik, mewarnai, menilai dan merasai apa yang muncrat dari kepalaku. Inikah kepatuhan? Inikah kreatifitas? Satu kepala, dua tangan dan seribu pekerjaan sepertinya perbandingan yang tidak seimbang. Apalagi jika ditambah dengan seribu persoalan. Tak jarang orang akan segera hinggap pada dahan-dahan muda kegilaan. Seperti aku.

Dalam satu Trilogi Pram (Pramoedya Ananta Toer) yang bertajuk Anak Semua Bangsa, kubaca sebuah kalimat yang sampai sekarang tertanam di kepalaku: "Mencari nafkah betapa harus meninggalkan beban". Sebuah kalimat yang selalu sadarkanku bahwa beban itu sebenarnya tidak ada. Beban itu nisbi. Beban itu berasal dari diri sendiri. Beban itu adalah bentuk pengkotakan pikiran pada sesuatu yang merasa tak sanggup dilaluinya. Putus asa? Bukan! Belum sampai pada taraf itu. Dalam hal ini aku masih melihat 'beban' adalah tanggung jawab yang harus aku rampungkan. Entah itu pekerjaan, persoalan atau apapun...

Satu hal yang masih ingatkanku bahwa kehidupan masih berjalan disekelilingku hanyalah gelap dan terang. Aku abaikan angka-angka pada jam dan kalender. Tolok ukur waktu kuhitung dari kapan kulihat senja dan kapan kulihat fajar; Kapan terlihat gelap dan kapan terlihat terang. Rupanya waktu masih kalahkanku (lagi) di bagian lain hidup ini. Tak apa! Itu tandanya hidupku berotasi. Aku berharap segera lalui ini dan masuk ke babak lain kehidupanku.

Tegar

Ia masih termangu melihat ujung gang, menunggu emaknya pulang membawa sekantung beras seperti kata emaknya tadi pagi.

"Gar, nanti emak nggak kerja, Emak mau antri beras di kampung sebelah. Jadi kamu di rumah aja nunggu Emak pulang."

"Ya, Mak," katanya sambil menyuapkan nasi terakhir dari piringnya.

Beberapa hari ini Ia rasakan Emak memang sering pergi. Kadang-kadang saat pagi masih gelap, emak sudah pergi entah kemana dan baru pulang menjelang mahgrib.

Yang paling disukainya adalah saat emaknya pulang membawa sekantung beras. Biasanya dari ujung gang itu, Emak teriak-teriak memanggilnya untuk membantu membawakan beras ke dalam rumah. Dengan lincah Ia langsung menyambut emaknya di ujung gang, melewati genangan air di sepanjang gang dengan lompatan kecil seperti kucing.

Rencananya jika sudah terkumpul banyak, Emak akan menjual sebagian beras itu dan uangnya akan digunakan untuk membelikannya baju lebaran. Tidak ada kegembiaraan lain selain membayangkan mempunyai baju bergambar robot seperti teman-temannya. Tidak melulu memakai baju orang dewasa seperti sekarang. Apalagi ia sering bertukar baju dengan emaknya. Malu kalo orang suka mengolok-oloknya.

"Gar, bajumu kembaran sama Emakmu ya?" Ledek Pok Romlah, pedagang gorengan yang suka mangkal di pos siskamling tak jauh dari rumahnya.

"Gar, kok bajumu kegedean?" Tanya Udin polos. Udin adalah satu-satunya teman di RT ini yang sering main dengannya karena sama-sama belum sekolah.

Bocah 4 tahun itu masih memandangi ujung gang sambil sesekali tersenyum membayangkan senangnya mempunyai baju baru untuk lebaran nanti. Sampai beberapa saat kemudian beberapa tetangganya berlarian menuju rumahnya. Tanpa permisi masuk ke dalam rumahnya, membersihkan tumpukan kardus, menyapu lantai tanah dan menggelar tikar yang tadinya terlipat di pojok ruangan. Tiba-tiba seorang tetangganya menggendongnya, menariknya duduk bersila di dalam rumah.

Tak lama kemudian terlihat beberapa orang membopong emaknya yang terkulai tak berdaya ke dalam rumah dan menyelimutinya dengan kain batik hingga menutupi wajahnya. Samar-samar ia mendengar orang-orang di sekitarnya bergumam. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan, tapi ia mendegar beberapa kata; "antri zakat", "rebutan", "terinjak-injak".

Friday, September 19, 2008

Dewa 19 - Mahameru

Mendaki melintas bukit
Berjalan letih menahan menahan berat beban
Bertahan di dalam dingin
Berselimut kabut Ranu Kumbolo...

Menatap jalan setapak
Bertanya - tanya sampai kapankah berakhir
Mereguk nikmat coklat susu
Menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda
Bersama sahabat mencari damai
Mengasah pribadi mengukir cinta

Mahameru berikan damainya
Didalam beku Arcapada
Mahameru sebuah legenda tersisa
Puncak abadi para dewa

Masihkah terbersit asa
Anak cucuku mencumbui pasirnya
Disana nyalimu teruji
Oleh ganas cengkraman hutan rimba
Bersama sahabat mencari damai
Mengasah pribadi mengukir cinta

Thursday, September 18, 2008

Sajak Kerinduan Untuk Kekasih Yang Terbenam di Bagian Lain Kehidupanku

Aku rindu
Aku rindu
Aku rindu
Aku rindu

Aku rindu
Aku rindu
Aku rindu
Aku rindu

Aku rindu
Aku rindu
Aku rindu
Aku rindu

Padamu...

Katon Bagaskara - Pasangan Jiwa

Kadangkala aku bertanya
dimana cinta berada
tersembunyi tiada kunjung menghampiri

Dua angsa memadu rindu
di danau biru bercumbu
pagut sepi ku di sini
letih hati

Begitu jauh waktu ku tempuh
sendiri mengayuh biduk kecil,
hampa berlayar
akankah berlabuh?
hanya diam menjawab kerisauan

Kadangkala aku berkhayal
seorang di ujung sana
juga tengah menanti
tiba saatnya

Begitu ingin berbagi batin
mengarungi hari yang berwarna
dimana dia pasangan jiwaku?
ku mengejar bayangan kian menghilang

penuh berharap

Kerispatih - Masih Ada

Jangan kau tanyakan lagi
Hatiku pasti untukmu
Meski aku tak sempurna
Tak mampu jadi yang terbaik

Apapun yang terjadi
Ku kan selalu menjagamu
Sebesar ketulusan hatimu

Masih ada rasa cinta disini
Yang sanggup membuatmu ada di hatiku
Takkan hilang
Dan masih ada kekuatan jiwaku
Tuk mempertahankan hidupku untukmu
Bersama slamanya

Semua yang telah kita lewati
Membuat kita dewasa
Untuk dapat memahami menjalani
Semua cerita cinta kita berdua

Apapun yang terjadi
Ku kan selalu menjagamu
Sebesar ketulusan hatimu

Masih ada rasa cinta disini
Yang sanggup membuatmu ada di hatiku
Takkan hilang
Dan masih ada kekuatan jiwaku
Tuk mempertahankan hidupku untukmu
Bersama slamanya

Bertahanlah untukku karena ku cinta kamu

Monday, August 25, 2008

Gerobak Sutrisno

Dua jam yang lalu...

Sutrisno sibuk membolak-balik tumpukan baju di lemari. Bagian atas sudah selesai diobrak-abriknya. Dia berhenti sejenak sambil garuk-garuk kepala, matanya berputar-putar seperti sedang mengingat sesuatu. Kemudian dia jongkok dan mengobrak-abrik tumpukan baju di bawahnya.

Ngatinem yang dari tadi memperhatikan tingkah suaminya kebingungan. Tidak biasanya suaminya sepulang jualan langsung mengobrak-abrik isi lemari. Biasanya dia membersihkan isi gerobak dulu, mandi dan sholat, baru kemudian beranjak tidur. Itu juga kalo si Thole jagoan-nya yang berumur 3 tahun itu tidak memintanya cerita tentang Kancil dan menemaninya tidur di depan TV kecilnya yang 'tak berwarna'.

"Pak, cari apa to, kok kayanya penting banget?" Tanya Ngatinem sambil membereskan baju-baju yang dilemparkan suaminya di atas bale-bale tempat mereka tidur.

"Kertas bu. Apa kamu liat kertas kecil yang aku selipkan di bawah baju di lemari ini?" Sambil menjawab, tangan Sutrisno tetap sibuk menjelajah setiap sudut lemari.

"Kertas apa sih, Pak, kok kayaknya penting banget?"

"Kertas ya kertas. Pokoknya kertas itu harus ketemu supaya kita bisa dapat uang untuk beli gerobak baru dan nambah-nambah kulakan."

Uang? Ngatinem makin penasaran. Tapi dengam sigap dan semangat langsung membantu mengacak-acak seisi rumah. Uang, apalagi yang lebih indah didengar saat ini selain kata itu, batin Ngatinem. Kali ini, giliran si Thole yang kebingungan melihat orang tuanya sibuk mengacak-acak isi rumah.

Tiba-tiba Ngatinem menghentikan pencariannya. Tumpukan kardus yang semula diambilnya dari belakang pintu perlahan diturunkannya. Dia bergegas menghampiri suaminya yang masih sibuk di sekitar lemari.

"Pak, sebenarnya yang kamu cari itu kertas kecil atau uang sih. Kalo cuma kertas, ngapain capek-capek nyari?" Ngatinem mulai sadar, kalo yang dia cari hanyalah kertas kecil, bukan uang.

"Itu kertas togel bu, Kemarin diam-diam aku beli togel dan tadi dikasih tau Wartijo jika angkaku tembus. Lumayan bu, bisa buat beli grobak baru untuk dagangan kita."

"Sudah kamu cari di kantong celanamu, Pak?"

Ngatinem bersemangat lagi membantu mencari kertas togel suaminya. Pikirannya sudah membayangkan sebuah gerobak baru bertengger di depan rumahnya. Gerobak yang bersih, kokoh dan rapi akan membuat pelanggannya tak jijik lagi membeli sayuran darinya. Ngatinem melirik gerobak tua yang masih terlihat dari tempatnya berdiri. Rodanya sudah berkarat. Sisi-sisinya sudah mengelupas dan bolong di sana-sini. Belum lagi catnya yang sudah menyatu dengan dekilnya debu. Kadang-kadang beberapa anak tikus berhamburan keluar dari lubang-lubang itu.

"Bu, ketemu Bu, ketemu Bu!" Dilihatnya suaminya mengacungkan selembar kertas kecil ke udara. Sesekali diciuminya kertas itu. Ngatinem tersenyum, sudah lama dia tidak melihat suaminya segembira itu. Sedetik kemudian suaminya sudah meninggalkannya menuju rumah Wartijo untuk mengambil uang.

Ngatinem membasuh mukanya yang kusam. Betapa dekat kebahagiaan dengan kesedihan. Bahkan, buat dia, sepertinya tidak ada lagi batasan antara keduanya. Lima menit yang lalu Suparno, tukang ojek yang masih sepupunya mengabarkan bahwa suaminya ada di Rumah Sakit karena kecelakaan. Saat menyeberang jalan di depan kecamatan sebuah mobil menyerempetnya hinga Sutrisno bergulingan dan terkapar di selokan. Sutrisno tak sadarkan diri ketika warga berhamburan menolongnya. Sementara mobil yang menyerempetnya tancap gas entah kemana. Warga tak sempat mencatat nomor polisinya.

Sekarang dia harus ke rumah sakit. Laju pikirannya tak terkedali membayangkan biaya pengobatan suaminya yang tulang lengan dan kakinya patah. Sedangkan kertas togel yang sedianya akan ditukarkan uang itu entah ada dimana sekarang.

Diliriknya TV kecil tak berwarna kebanggaan Thole yang masih menyala.

"Maafkan aku ya, Le..."

Wednesday, August 13, 2008

Mulut Tinja

Sandalku siap melayang bak meteor
Meninggalkan landasan kakiku yang kotor
Ke arah bibirmu yang jontor
Penuh teror

Untuk siapa kau buka mulut penuh tinja itu?
Apakah untuk orang disekelilingmu?
Atau hanya untuk kurcaci macam kami?
Dimana ada nyali?

Derajatmu tak lebih tinggi dari periuk nasi
Sama seperti kami
Coba kau mengerti
Masihkah ada sanubari?

Lidahmu masih saja menjulur
Mencari pantat mengkilat untuk kau luncur
Sampai menunggu waktunya hancur
Dan menyeretmu ke tanah kubur

Monday, August 11, 2008

Blog Bukan Tempat Buat Hacker!

Sebenarnya aku ragu-ragu mau menulis ini. Tapi biarlah, bukanya blog ini tempat kata-kata berkata? Aku mulai...

Sore itu seorang karibku tiba-tiba membuka pembicaraan dengan kalimat yang mambuatku bingung. "Kenapa sih orang bikin (nulis) blog? mau mengumbar masalah pribadi ke blogger? Masalah pribadi kok diumbar. Biar dapat belas kasihan?," katanya sinis. Aku yang saat itu kebetulan sedang bermain dengan papan ketik sontak menghentikan gerakanku. Kata-kata yang sedianya siap kukirimkan ke jari-jariku sontak terganjal.

"Aku mau bikin tulisan: Blog bukan tempat buat Hacker!" katanya lagi tanpa mempedulikan aku yang menarik dahiku tanda kebingungan mencari arah kalimatnya.

"Sumpah, aku bingung dengan kalimatmu." akhirnya aku dapat kesempatan untuk berbicara.

"Aku heran, kenapa sih orang suka nulis di blog, soal pribadi, cinta dan sebagainya? Biar dibaca orang? Buat apa? Kalo masalah pribadi mbok ya gak usah ditulis di blog. Aku gak suka seperti itu (menulis masalah pribadi di blog). Blog itu harus "jantan". Makanya aku bilang blog bukan tempat buat hacker!" Jelasnya berapi-api.

"Karib, kalau kamu membaca blog orang lain apakah kamu merasa rugi?" tanyaku.

"Kalau tulisan dan masalah pribadi yang ada di sana, dan aku merasa gak ada manfaatnya buatku, aku bilang rugi," jawabnya tangkas.

"Ok. Sekarang kalau blog itu isinya masalah pribadi, catatan harian atau persoalan cinta yang menye-menye, apakah kamu rugi jika tidak mambacanya?"

"Tidak!" Katanya.

"Ya sudah. Ketemu cara supaya kamu tidak rugi. Tak usahlah kamu baca blog seperti itu. Beres kan! Kalo soal Hacker yang kamu bilang 'tidak pantas' menulis di blog, itu hasil pemikiranmu. Silakan saja. Dari istilahnya seharusnya kamu bisa meraba. Orang yang mempunyai/menulis di blog disebut blogger, bukan hacker."

Karib saya terdiam. Sepertinya dia sedang mengatur lalu lintas istilah dan kata-kata yang ada di kepalanya supaya tidak bertubrukan.

Titik Terang

Adalah malam yang menegangkan buatku, ketika sebuah persoalan besar harus aku hadapi dan selesaikan kurang dari 12 jam. Besar tentu hanya buatku, mungkin tidak buat yang lain. Dan itu adalah malam ini.

Sejak sore pikiranku kalut, usaha yang aku lakukan untuk menyelesaikan persoalan itu menemui jalan buntu. Pikirku, tak seorangpun sanggup meringankannya tak peduli dia siapa. Semua jalan yang aku lalui dihadang seribu dinding batu yang tak mudah ditembus. Dan jujur ini sangat mempengaruhi konsentrasiku jalani waktu habiskan akhir minggu membuat keindahan.

Adalah kepercayaan pada-Nya yang sebenar-benarnya bisa pecahkan semua meteor persoalan yang menyerang kehidupanku. Aku akui itu. Ketika aku benar-benar tak sanggup lagi untuk temukan jalan, aku diberi-Nya jalan. Maksudku, saat aku tengah tersungkur di atas meja putus asa, pasrah dan sedikit perih atas jalan yang seharusnya aku lewati, sebuah pengharapan datang dan bangkitkanku.

Sungguh tidak aku sangka, aku mendapat kemudahan yang hantarkanku ke pintu terujung menembus dinding batu yang menghalangiku. Begitu sederhananya, begitu cepatnya dan begitu melegakanku. Terpujilah untuk susuatu yang papah aku melangkah lalui jalan itu (Doaku untuk kebahagian keluargamu). Dan tentu saja limpahan syukur untuk-Mu yang tak lelah menjagaku di keyakinanku pada-Mu yang tak menentu.

Sunday, August 10, 2008

Aku dan Rahasiaku

Orang keluhkanku karena anggap aku sering mengeluh. Sepertinya hidup yang aku jalani adalah hidup yang serba berbatas, hidup yang seraba kurang, hidup yang serba tak punya kepuasan. Mungkin seperti itulah pendapat mereka. Aku bisa bilang apa?

Tak mungkin semua persoalan di dalam hidupku aku beberkan ke semua orang. Tentang kesedihan, tentang kegembiraan dan tentang apapun. Apa yang meraka lihat dan dapatkan dariku hanyalah sebagian 'persoalan' yang sudah aku saring dan anggap 'aman' untuk diketahui banyak orang.

Aku tak pernah berusaha untuk merebut simpati, menghiba belas kasih atau apapun yang merendahkan harga diriku (terima kasih, Dodik sudah ajarkan ini) dengan obrolan "tentang aku". Ketika aku bertutur tentang seklumit persoalan hidupku, tak lain adalah bentuk rasa nyamanku berada di komunitas obrolan itu. Lain tidak.

Setiap orang pasti punya rahasia. Pun aku. Dan rahasia tidak selalu hal yang buruk. Ada rahasia yang menyenangkan juga, tapi ya itu tadi, setiap orang mempunyai limitasi atas rahasianya sendiri. Dan itu adalah hal yang wajar.

Sunday, August 3, 2008

Ada Band - Setinggi Nirwana

Saat kembali memelukmu
Terurai rasa yang semakin mendalam
Ku ingin dirimu masih rasakan hal sama
Cintaku setinggi-tingginya nirwana

Mungkin hatimu pertanyakan
Ada kepastian di lubuk jiwaku
Ku telah bersumpah setia berikrar denganmu
Takkan hempaskanmu yang kedua kalinya

Cinta jangan kau tinggalkan aku
leburkan ke dalam kepedihan
Maafkan aku yang sempat melukaimu
Cinta kau harus ampuni aku
atas s'gala tingkahku yang dulu
Tiada pantaskah ku tuk kembali memulainya

Kau bagai bintang di tengah samudera
Arahkan jiwa yang terlena akan dunia
Ampuni mata ini tak mampu melihat
Ke dalam cintamu sesungguhnya

Dirimu...slalu berikan keindahan nyata
di s'luruh lini hidup
Memancarkannya

Thursday, May 22, 2008

Ari Lasso - Cinta Sejati

Aku jatuh cinta padamu
Sejak pertama kita bertemu
Dia menghuni relung hati
Kau tak pernah peduli

Tuhan mengapa kau anugerahkan
Cinta yang tak mungkin 'tuk bersatu
Kau yang t'lah lama kucintai
Ada yang memiliki

Reff:
Cinta sejati tak akan pernah mati
Selalu menghiasi ketulusan cinta ini

Jalan hidup tlah membuat kita
Harus senantiasa bersama
Lewati segala suka duka
Tiada cinta bicara

Dan kau selalu
Hanya diam membisu
Meski kaupun tahu
Betapa dalam cintaku

Aku jatuh cinta padamu

Ari Lasso - Jalanku Tak Panjang

Engkau adalah penuntun hatiku
Engkau adalah pengukir jiwaku
Yang memberi kedamaian dan tak bisa
Kuungkapkan kepadamu

Kutemukan sepercik keteduhan jiwa
Kudapatkan sebentuk kelembutan hati
Menyentuh sekujur tubuhku yang lemah
Aku tahu yang kurasakan

Reff
Semoga
Aku masih bisa melewatkan masa separo putaran Bumi
Jalanku tak panjang, mungkin untuk bisa menuai waktu
Bersama dirimu

Engkau adalah pelumpuh cintaku
Engkau adalah pelipur tangisku
Yang memberi kekuatan tuk manapak
Lebih jauh...Harapanku...

Thursday, May 15, 2008

Perpisahan

Lelaki itu jatuh terduduk. Darah mengucur dari dada kirinya, membasahi samurai yang masih dia pegang. Sesaat sebelum ajalnya terenggut, lelaki itu memandang surat yang dia tuliskan di sisinya...

"Aku tak pernah ingin menyakiti tubuhku. Aku hanya ingin memisahkan ruh dari jiwaku. Karena tak lagi kutemukan keharmonisan antara keduanya. Semoga jarak ini mampu membuat keduanya merasa kehilangan dan rindu untuk kembali bersatu. Entah kapan dan dimana"

Dan dia tergolek. Mati.

Ada Band - Senandung Lagu Cinta

Senandung lagu cinta
Tercipta untukmu
Yang getarkan jiwa ini
Lumpuhkan jantungku

Kecantikan sempurna
Yang tak terlukiskan
Bahagia kan diri ini
Saat bersamamu

Meskipun ku sadari
Tak mungkin memelukmu
Waktu kau isyaratkan
Bahwa dirimu tlah bersamanya

Tatap matamu untuk yg terakhir
Siksa batinku yang mencintamu
Ku pasrahkan pada Illahi
Relakan untuknya

Lekuk tubuh anggunmu
Bagaikan sang dewi
Di dalam sanubariku
Terukur wajahmu

Jurang yang dalam pisahkan kita
Yang tak mungkin untuk dilalui
Biarlah lagu cinta ini
Terdengar dalam kalbu

Jon Secada - Angel

I, I can’t read the future
But I still wanna hold you close
Right now, I need that from you
So give me the morning
Sharing another day with you
Is all I want to know

And baby I, I’ve tried to forget you
But the light of your eyes
Still shines, you shine like an angel
A spirit that won’t let me go

And I, I didn’t wanna tell you
Things I do wanna know myself
I was afraid to show
But you, you gave me a reason
A reason to face the truth, oh yes you did
To face the truth, face the truth
Face the truth

And baby I, I’ve tried to forget you
But the light of your eyes
Still shines, shines, shines like an angel
A spirit that won’t let me go
Let go of my heart

And baby I, I’ve tried to forget you
But the light of your eyes
Still shines like an angel
A spirit that won’t let me go

Flanella - Bila Engkau

Saat indah dalam hidupku
Saat aku bertemu denganmu
Kau anugrah yang tercipta
Begitu nyata

Kau tercantik dalam hatiku
Walaupun orang tak berkata begitu
Ku ingin kau disampingku
Selamanya…

Reff:
Bila engkau menerima cintaku
Ku akan setia kepadamu
Karna dirimu yang selama ini
Kucari…

Bila engkau menerima cintaku
Aku akan slalu jujur untukmu
Karna dirimu yang selama ini
Dihati

Kata cinta yang kumiliki
Ingin memberi semua yang terbaik
Berharap ku tak berlebih
Dihatimu..

Club Eighties - Dari Hati

Andai engkau tahu
Bila menjadi aku
Sejuta rasa di hati

Lama tlah ku pendam
Tapi akan kucoba mengatakan

Reff:
Ku ingin kau menjadi milikku
Entah bagaimana caranya
Lihatlah mataku untuk memintamu

Ku ingin jalani bersamamu
Coba dengan sepenuh hati
Kuingin jujur apa adanya dari hati

Kini yg kau tahu
Aku menginginkanmu tapi takkan ku paksakan
Dan ku pastikan
Dau belahan hati bila milikku

Menarilah bersamaku dengan bintang-bintang
Sambutlah diriku untuk memelukmu

Wings - Sejati

Sejati
Itu yang kau ucapkan
Bila janji kugenggam
Bawah pohon kemboja
Yang sekecil kita

Menanti
Di mahligai mainan
Kita bina bersama
Dari dahan yang rapuh

Usia perangkap kita
Remaja kita tinggalkan
Namun aku masih
Menggenggam janji

Tinggal kenangan
Gagal segala impian
Tinggal bertanya
Erti sejati

Kenangan itu
Hanya mainan bagimu
Tinggal bertanya
Erti sejati
Yang telah engkau janjikan dulu

Bread - If

If a picture paints a thousand words
Then why can't I paint you?
The words will never show
The you I've come to know

If a face could launch a thousand ships
Then where am I to go?
There's no one home but you
You're all that's left me to

And, when my love for life is running dry
You come and pour yourself on me

If a man could be two places at one time
I'd be with you
Tomorrow and today
Beside you all the way

If the world should stop revolving
Spinning slowly down to die
I'd spend the end with you
And, when the world was through
Then, one by one, the stars would all go out
Then you and I would simply fly away

Dian Pieshesa - Tak Ingin Sendiri

Aku masih seperti yang dulu
Menunggunmu sampai akhir hidupku
Kesetiaanku tak luntur
Hati pun rela berkorban
Demi keutuhan kau dan aku

Biarkanlah aku memiliki
Semua cinta yang ada di hatimu
Apa pun kan kuberikan
Cinta dan kerinduan
Untukmu dambaan hatiku

Reff:
Malam ini tak ingin aku sendiri
Kucari damai bersama bayanganmu
Hangat pelukan yang masih kurasa
Kau kasih… kau sayang…

Gigi - Jatuh Padamu

Misalkan saja ku tak bertemu lagi
Sudah ku pastikan aku sakit
Lamunanmu s’lalu datang menghampiri
Disaat ku sendiri menyepi

Ternyata ku tak bisa
Hidup tanpa dirimu

Reff :
Ku telah jatuh padamu
Menjadi gila terhadapmu
Ku telah jatuh padamu
Kepadamu… ooo…

Misalkan saja ku tak bertemu lagi
Sudah ku pastikan aku sakit

Ternyata ku tak bisa
Hidup tanpa dirimu

Misalkan saja ku tak bertemu lagi
Sudah ku pastikan aku sakit

Cupumanik - Perkenankan Aku Mencintainya

Saat ku memilihmu
rasa ini mengalir begitu saja
Tak hiraukan apapun
Bisikan hati tunjukkan arah
menuju mu

Ribuan hari yang dilalui
untuk menjaga ikatan indah ini
Tak pernah terbayangkan
Terkoyak karena mungkin
Tuhan tak berkenan

Mungkinkan terlalu awal
semua kisah ini, harus berakhir
Akankah kita menunda hingga Matahari senja
tak tersisa

Chorus:
Ku tahu kita hanya
Jalani garis tangan
Ketulusan akan datangkan jawaban
Rahasia kisah kita
   
Reff:
Tuhan
Kirimkan makna kisah ini
Kisahku datangkan tanya
   
Karena
Keyakinan yang tak sama
Kisahku diakhir waktu
   
Interlude:   
Tuhan
Aku tahu kita memang tak saling bicara
Tapi izinkanlah aku untuk pertanyakan ini
Semoga kau terima apa yang telah kupinta

Jikustik - Ini Bukan Kesalahan

Yang bisa aku lakukan
Hanya menatap bintang
Dan menggigil kedinginan
Dengannya

Mungkin kau harus tinggalkan
Kekasihmu sekarang
Demikian juga aku
Dengannya

Reff:
Ini bukan kesalahan
Mereka kita tinggalkan
Karena kita merasakan
Getaran yang sama

Ini bukan kesalahan
Biar Tuhan yang tentukan
Berapa jauh berjalan
Mampukah bertahan

Yang bisa kita lakukan
Melepas semua
Dan menjadikan mereka
Kenangan

Baim - Kau Milikku (Kuyakin Kau Kembali Untukku)

Baru kusadari kalau aku kehilangan
Terbangun dari tidurku dan merasakan sepi
Kulihat api dan hujan bagaikan diriku dan dirimu
Sepertinya kau tak sama dengan diri ini
Namun ku yakin kau kembali untukku

reff:

Aku yakin kau milikku
Untuk selamanya di sisiku
Ku berlari meraihmu
Masih kurasakan kau milikku selamanya

Selalu terlihat di setiap mimpiku
Kau coba tuk meraih setiap langkah gerakku
Kulihat bulan dan bintang itulah dirimu dan diriku
Seharusnya kau dan aku tetap memiliki
Namun kuyakin kau kembali untukku

repeat reff

Namun kuyakin kau kembali untukku
Namun kuyakin kau kembali untukku
Namun kuyakin kau kembali untukku

Thursday, April 3, 2008

Putus Asaku, Asaku Putus

Putus asaku, asaku putus

Otakku tak mampu lagi menggenggam
Betapa berat dan besar sesuatu yang memasukinya

Putus asaku, asaku putus

Jalanku tertutup jembatanku ambruk
Betapa besar sesuatu yang melewatinya

Putus asaku, asaku putus

Tak ada lagi kekuatan yang bisa bangkitkan
Justru kematian yang dihadapkan

Ah, Aku Romantis...

Aku geli, tulisan dan penampilanku dinilai berseberangan.

"Tampang sih bandel tapi begitu menulis menye-menye, romantis, mendayu-dayu," nilai karibku usai membaca tulisanku.

Sungguh penilaian yang sangat aku hargai. Apalagi dikatakan oleh satu dari karibku di bumi. Tau sendiri, seorang karib mempunyai penilaian yang jujur dan tentu murni berasal dari hatinya. Aku tak mengamini tak juga menyangkal. Buatku, penilaian itu adalah bentuk kasih sayangnya buatku. Bentuk perhatian yang tidak berharap pada imbal apapun. Penilaian yang murni dan tulus.

Hmmm romantis ya. Aku pikir semua manusia punya sisi itu. Selama manusia masih mampu mengecap rasa tidak hanya melalui lidah dia akan miliki potensi romantis. Sisi dimana seseorang bisa menilai keindahan, menikmati wangi-wangian atau terpesona oleh alunan nada, adalah sisi yang buat seseorang berlabel romantis.

Dalam keterbatasan pikiranku, romantis itu sesungguhnya ada di dasar jiwa setiap orang. Tinggal bagaimana dia ditemukan dan diperlakukan. Tak beda dengan pemarah, cengeng dan humor. Ketika bagian-bagian itu tersentuh oleh keadaan di luar dirinya, dia akan menampakkan diri, menunjukkan eksistensinya dari dalam pikiran dan tubuh manusia. Itu adalah respon alami dari perasaan dan simbol-simbol batin yang terpanggil oleh luapan emosi.

Ah, teori. Itu teoriku. Sesungguhnya aku tak benar-benar yakin dengan pikiranku. Tapi inilah jawaban yang dapat aku temukan dari penilaian tentang romantis itu.

Karibku, jangan berhenti menilaiku. Karena mungkin inilah yang ingin aku dapatkan dari apa yang ada di pikiranku.

Terima kasih, Rib...

Tentangmu

Lelah kuterima usai hiasi hari bersamamu
Penat tak kuasa buatku terpejam
Hanya sepi hampa prasangka yang kutemu
Bebaniku hingga jiwaku tenggelam

Keindahanmu masih kunantikan
Di setiap detik kerinduan yang kudendang
Harap pada jiwamu butuh dekapan
Ajakku berlari tinggalkan ruang

Tak kuasa lagi kutahan beban
Hempaskanmu dalam penantian
Karena sesungguhnya aku tak mampu
Meraihmu dan semua tentangmu

Wednesday, April 2, 2008

Orang Tua Berambut Putih

Orang tua rambut pendek ubanan itu memandangku. Dari jauh rambutnya berwarna putih seperti kapas dari pohon Kapuk. Sorot matanya tajam menembus tatapanku yang memperhatikannya sejak aku keluar dari sesaknya pintu metromini.

"Monyet, liat-liat dong kalo turun!"

Uh, tak sengaja aku menubruk seorang tentara yang motornya melaju di trotoar. Aku mengumpat dalam hati. Dia yang salah dia yang marah. Tapi Siapa yang berani sama tentara?

"Maaf Pak," jawabku sambil ngeloyor. Meninggalkan tentara yang tetap melaju di trotoar dengan klakson keras dan mengagetkan orang-orang yang menghalangi jalannya.

Aku masih memikirkan orang tua berambut putih itu. Berkali-kali aku bertemu dengannya. Setiap aku turun dari angkutan umum, kali pertama yang kulihat adalah orang tua itu. Pakaian yang dia kenakan selalu sama denganku. Bahkan, dia membawa ransel yang juga sama dengan ransel yang menempel di punggungku. Penasaranku makin meninggi.

Hari ini aku ingin menemuinya. Aku sudah siapkan skenario untuk bertanya kepadanya. Tentang siapa orang tua itu sebenarnya, dimana dia tinggal dan kenapa memperhatikanku seperti itu. Kenapa dia menghilang begitu aku turun dari angkutan umum? Orang tua yang aneh.

Aku celingukan di belakang halte tempatku biasa turun. Sialan, kemana perginya orang tua itu? Aku mengumpat dalam hati. Biasanya dia menyambutku dengan tatapan tajam dari tempatku berdiri sekarang.  Tapi kemana dia? Aku hampir putus asa ketika tanpa sengaja kulihat sepasang mata tajam memperhatikanku agak jauh dari tempatku berdiri. Itu dia!, teriakku dalam hati.

"Kek!," aku berlari sambil melambaikan tangan ke arah orang tua itu. Tak aku hiraukan orang-orang yang melihatku sepagi itu lari bagai kesetanan.

Aku masih ngos-ngosan mengatur nafas yang hampir putus saat akhirnya kudapati kakek itu berdiri tepat di depanku. Dia juga ngos-ngosan dibarengi batuk-batuk kering.

“Kek, kenapa Kakek lari?” tanyaku sambil tetap mengatur nafas.

“Kenapa kamu mengejarku?” tangkis orang tua itu menimpali pertanyaanku.

“Sebenarnya kakek ini siapa, kenapa setiap hari aku selalu melihat kakek memperhatikanku di halte itu?”

“Aku ini kamu!” Jawabnya ketus.

Aku jadi curiga, jangan-jangan orang tua di hadapanku ini tidak waras. Ingin sebenarnya segera meninggalkannya dan melanjutkan perjalananku ke kantor. Tapi sudah terlanjur menemuinya, aku harus tuntas menghabisi rasa penasaranku.

“Kakek tinggal dimana?”

“Aku tinggal di sini,” katanya sambil telunjuknya menyentuh pelipis kananku.

“Aku ini kamu. Aku tinggal di pikiranmu. Aku adalah keadaan yang kamu sisakan selagi kamu muda. Aku adalah kesedihan dan keputusasaan yang kamu terima dari semua ulah yang kamu lakukan sekarang. Aku adalah semua pikiran burukmu tentang masa depanmu. Aku adalah kekosongan jiwamu saat kamu bisa mengisinya di waktu sekarang. Aku adalah rentanya cara kamu menikmati semua kebaikan yang diberikan Tuhan kepadamu. Aku adalah kamu!,” lanjutnya.

Aku terpana mendengar jawabannya. Sulit rasanya menerima jawaban orang tua berambut putih itu. Jangan-jangan orang tua berambut putih di hadapanku ini memang orang gila. Seorang kakek yang tinggal sendirian di Ibukota. Seorang kakek yang ditinggal pergi istri, anak dan cucu-cucunya.

Aku kaget ketika tiba-tiba sebuah tepukan pelan bersarang di pundak kananku.

“Maaf Mas, kacanya mau dibersihkan dulu,” seorang pegawai restoran cepat saji sudah berdiri di sebelahku. Tangannya membawa ember berisi air sabun dan lap kaca.

Kesal. Kulangkahkan kakiku meninggalkan tempat itu menuju kantorku. Samar-samar kulihat orang tua berambut putih itu masih menatapku tajam. Semakin lama orang tua itu semakin menghilang bersama air sabun yang disemprotkan pegawai restoran cepat saji tu.

16.15 - 17.15

Aku Butuh Ruang

Aku gelisah ketika tak aku temukan juga tempat untuk menuangkan pikiranku beberapa hari ini. Suntuk. Kalau saja aku mempunyai kekuatan menorehkannya di atas kulitku, akan kulakukan. Tapi tak bisa. Aku hanya akan rasakan sakit saat jariku menggurat kulitku yang kering keriput.

Aku butuh ruang. Aku butuh tempat dimana orang-orang yang tak kukehendaki tak bisa menjamahku. Agar aku bisa merasakan rasa yang sungguh-sungguh hanya aku inginkan. Agar aku bisa mengeluarkan rasa yang sungguh-sungguh harus aku keluarkan karena menyesaki ruang dadaku. Tapi dimana? Tak aku temukan sejengkalpun ruang di kiri kanan tubuhku. Semua terhimpit.

Kegelisahan ini mempermainkanku. Meninju-ninju ulu hatiku. Seolah berharap pada sisi jiwaku yang lain untuk segera temukan obat anti gelisah yang bisa didapatkan dengan mudah. Tapi dimana? Di bagian tubuh sebelah mana? Tak satupun yang tahu. Apalagi aku!

Sepertinya aku harus pejamkan mata dan biarkan nadiku yang temukan ketenangan untuk meredam kegelisahanku ini. Ketenangan yang mungkin saja harus aku temukan dari tempat yang jauh di luar tubuh dan pikiranku. Tempat yang tidak terjamah oleh alam sadarku.

Gelisah, jangan hinggapi aku...

Saturday, March 29, 2008

Surat untuk Kekasih (3 Kata)


Sayang, sampai surat ini kutulis, kesakitanku masih menganga. Semua perasaan sakit ini menyesakkan dadaku. Merobek-robek mimpi dan harapan yang selama ini kurangkai. Sumpek. Ingin menangis, tapi apa air mata bisa mengubah semua ini? Percuma!


Cinta ini hampir membunuhku…



Malam itu aku melepasmu dengan perasaan kehilangan seperti biasa. Masih kurasakan hangat lidahmu saat kamu jilat tanganku sebelum meninggalkanku. Aku geli. Sebenarnya ‘jilat tangan’ bukan kebiasaan yang sering kamu lakukan kepadaku. Ini hanya salah satu caramu mengucapkan selamat malam kepadaku dari seribu cara iseng lain yang sering kamu lakukan. Seperti kemarin, kamu mencium bibirku saat kusodorkan pipiku ke wajahmu. Atau minggu lalu ketika kamu kulum telunjukku saat kupikir kamu mau mencium punggung tanganku. Aku tertawa setiap ingat keisenganmu. 

Sayang, aku bahagia memilikimu. Buatku, kamu satu dari keajaiban kecil yang membuatku sanggup bertahan di hiruk-pikuknya hidup. Kesabaranmu membuatku mampu menepis pikiran bengis saat aku putus asa. Dengan kata-katamu kamu membasuh wajahku yang kusut oleh penat pekerjaanku. Alangkah indahnya. Harum tubuh dan mata binarmu adalah kebanggaan yang kusematkan di setiap mimpiku tentang kamu. 

Sayang, ketika berdua denganmu aku merasa waktu berjalan lebih cepat. Ingin rasanya mempunyai kekuatan hebat yang bisa menghentikan waktu, tapi itu mustahil. Waktu terus berlalu, tak peduli sebutuh apa kita pada setiap detik yang tersisa. Dan kita tak bisa melakukan apa-apa. 

“Sayang, semua sudah kita kalahkan kecuali waktu,” bisikku di telingamu. Dan kamu memelukku erat tanpa kata seolah enggan waktu segera sisakan jarak buat kita. Sayang, tahukah kamu setiap saat aku selalu berharap keberadaanmu? Seperti orang gila rasanya selalu memperlakukanmu seolah-olah selalu ada di dekatku. Saat tidur misalnya, aku selalu ucapkan selamat tidur buatmu. Kadang aku ragu, apakah ini pertanda kehadiranmu di pikiranku sudah di ambang batas? Atau ini ketidakmampuanku mengendalikan perasaanku kepadamu? Entahlah… 

“Kamu orang paling jelek yang kukenal, tapi aku cinta,” katamu setiap kutanya kenapa memilihku menjadi cinta sejatimu. Aku tertawa, jawaban spontan yang semakin membuatku terkulai di langit ketujuh. Dari semua cerita yang aku tahu, inilah kalimat yang kuanggap apa adanya, tanpa kepalsuan dan tanpa tendensi apapun. Sekaligus meyakinkan keadaanku yang sebenarnya bahwa aku memang ‘tidak bagus’. Tapi biar saja, “bagus” atau “tidak bagus” tidak penting buatku. Aku sudah memiliki hatimu. Itu yang penting!

Dan di malam itu pula (21.12 WIB), saat segala mimpi dan harapan kusandarkan di pundakmu, tiba-tiba tiga kata kuterima darimu. Tiga kata yang kemudian berubah menjadi sesosok iblis yang siap merejam tubuhku. Pisaunya yang tajam terhunus siap mencongkel kedua mataku yang selama ini menikmati keindahanmu. Cakar kotornya merogoh kerongkonganku, jantungku, dan melesak ke dasar hatiku. Perih tak tertandingi.

Aku terkulai. Perasaanku hampir mati. Tak berguna air mata. Sekarat.

Cerita indah yang selama ini kuyakini bersemi selamanya dalam kenanganku terkoyak oleh tiga kata. Jalinan indah bertahun-tahun yang selama ini menjadi tempat berbagi rasa musnah begitu saja oleh tiga kata. Hanya oleh tiga kata! Tiga kata yang tak bisa kucerna sekalipun kucoba dan kupaksa.

Selain hanya sisakan prasangka…