Saturday, March 29, 2008

Surat untuk Kekasih (3 Kata)


Sayang, sampai surat ini kutulis, kesakitanku masih menganga. Semua perasaan sakit ini menyesakkan dadaku. Merobek-robek mimpi dan harapan yang selama ini kurangkai. Sumpek. Ingin menangis, tapi apa air mata bisa mengubah semua ini? Percuma!


Cinta ini hampir membunuhku…



Malam itu aku melepasmu dengan perasaan kehilangan seperti biasa. Masih kurasakan hangat lidahmu saat kamu jilat tanganku sebelum meninggalkanku. Aku geli. Sebenarnya ‘jilat tangan’ bukan kebiasaan yang sering kamu lakukan kepadaku. Ini hanya salah satu caramu mengucapkan selamat malam kepadaku dari seribu cara iseng lain yang sering kamu lakukan. Seperti kemarin, kamu mencium bibirku saat kusodorkan pipiku ke wajahmu. Atau minggu lalu ketika kamu kulum telunjukku saat kupikir kamu mau mencium punggung tanganku. Aku tertawa setiap ingat keisenganmu. 

Sayang, aku bahagia memilikimu. Buatku, kamu satu dari keajaiban kecil yang membuatku sanggup bertahan di hiruk-pikuknya hidup. Kesabaranmu membuatku mampu menepis pikiran bengis saat aku putus asa. Dengan kata-katamu kamu membasuh wajahku yang kusut oleh penat pekerjaanku. Alangkah indahnya. Harum tubuh dan mata binarmu adalah kebanggaan yang kusematkan di setiap mimpiku tentang kamu. 

Sayang, ketika berdua denganmu aku merasa waktu berjalan lebih cepat. Ingin rasanya mempunyai kekuatan hebat yang bisa menghentikan waktu, tapi itu mustahil. Waktu terus berlalu, tak peduli sebutuh apa kita pada setiap detik yang tersisa. Dan kita tak bisa melakukan apa-apa. 

“Sayang, semua sudah kita kalahkan kecuali waktu,” bisikku di telingamu. Dan kamu memelukku erat tanpa kata seolah enggan waktu segera sisakan jarak buat kita. Sayang, tahukah kamu setiap saat aku selalu berharap keberadaanmu? Seperti orang gila rasanya selalu memperlakukanmu seolah-olah selalu ada di dekatku. Saat tidur misalnya, aku selalu ucapkan selamat tidur buatmu. Kadang aku ragu, apakah ini pertanda kehadiranmu di pikiranku sudah di ambang batas? Atau ini ketidakmampuanku mengendalikan perasaanku kepadamu? Entahlah… 

“Kamu orang paling jelek yang kukenal, tapi aku cinta,” katamu setiap kutanya kenapa memilihku menjadi cinta sejatimu. Aku tertawa, jawaban spontan yang semakin membuatku terkulai di langit ketujuh. Dari semua cerita yang aku tahu, inilah kalimat yang kuanggap apa adanya, tanpa kepalsuan dan tanpa tendensi apapun. Sekaligus meyakinkan keadaanku yang sebenarnya bahwa aku memang ‘tidak bagus’. Tapi biar saja, “bagus” atau “tidak bagus” tidak penting buatku. Aku sudah memiliki hatimu. Itu yang penting!

Dan di malam itu pula (21.12 WIB), saat segala mimpi dan harapan kusandarkan di pundakmu, tiba-tiba tiga kata kuterima darimu. Tiga kata yang kemudian berubah menjadi sesosok iblis yang siap merejam tubuhku. Pisaunya yang tajam terhunus siap mencongkel kedua mataku yang selama ini menikmati keindahanmu. Cakar kotornya merogoh kerongkonganku, jantungku, dan melesak ke dasar hatiku. Perih tak tertandingi.

Aku terkulai. Perasaanku hampir mati. Tak berguna air mata. Sekarat.

Cerita indah yang selama ini kuyakini bersemi selamanya dalam kenanganku terkoyak oleh tiga kata. Jalinan indah bertahun-tahun yang selama ini menjadi tempat berbagi rasa musnah begitu saja oleh tiga kata. Hanya oleh tiga kata! Tiga kata yang tak bisa kucerna sekalipun kucoba dan kupaksa.

Selain hanya sisakan prasangka…

Thursday, March 27, 2008

"Aku Titipkan Beban Pekerjaanku Kepadamu"

Aku ciumi pipi anakku yang pulas setelah menghabiskan satu botol susu hangat yang aku buatkan untuknya. Kulirik jam di tembok kamarku, 02.32. Seharusnya saat ini aku dalam kondisi kantuk berat. Tapi aneh, aku tak rasakan sedikitpun kantuk.

Aku terduduk di pinggir tempat tidur. Kusandarkan tubuhku ke tembok. Aku yakin pasti ada sesuatu di kepalaku yang mengganjal sekalipun di 10 menit pertama sejak aku duduk tak kutemukan persoalannya. Aku tarik lagi otakku untuk mengingat-ingat kejadian sepanjang hari ini. Mulai dari aku berangkat kerja hingga pulang. Tak ada yang istimewa. Biasa saja. Tapi kenapa pikiranku terasa berat ya?

Aha, pasti masalah pekerjaan. Hm, iya mungkin soal itu. Kenapa aku masih memikirkan pekerjaanku yang belum tuntas hingga ke rumah? Apakah tak ada waktu lagi untuk memikirkannya besok di kantor saja?

Aku ingat ada sahabatku yang pernah menyarankan kepadaku; Saat pulang kerja, sebelum masuk rumah, coleklah pohon, pagar, batu atau apa saja yang aku temukan sambil berkata, "Aku titipkan beban pekerjaanku kepadamu." Dengan begitu, saat membuka pintu, beban pekerjaanku tak kusisakan untuk orang-orang yang di dalam rumah. 

Saran yang bagus.

Aku pikir memang begitu. Tidak ada untungnya membawa beban pekerjaan ke dalam rumah. Lebih baik membawa oleh-oleh hal yang menyenangkan untuk dibagi di rumah, bukan muka sumpek dan tubuh lunglai. Kantor dan rumah adalah tempat yang jauh berbeda, sekalipun keduanya mempunyai hubungan yang sangat dekat.

Lega rasanya saat kutemukan ganjalan kantukku. Akhirnya aku rebahkan tubuhku di sisi anakku. Sebelum tidur, kulirik lagi jam di tembok kamarku, 06.10.

Ya ampun...

Wednesday, March 26, 2008

Selamat Ulang Tahun, Eh... Hari Lahir

Entah kenapa, tadi malam dalam perjalanan pulang kerja, aku memikirkan kata "ulang tahun". Mungkin aku melamun sehingga pikiranku terbawa ke beberapa hari lalu, tepatnya 19 Maret, setahun hari lahir anak ke-2-ku. Pada tanggal yang sama, satu sahabatku melahirkan bayi laki-laki montok dan diberi nama Denika Putaya. (Selamat ya Fe!)

Yang mengganggu pikiranku bukanlah kelahiran itu. Melainkan kata "ulang tahun" yang selalu diucapkan saat seseorang memperingati hari lahirnya. Buatku tahun tidak terulang. Lalu bagaimana kata "ulang tahun" bisa ditemukan? Dalam bahasa Inggris-pun ucapan selamat hari lahir berbunyi Happy Birthday, bukan Happy Birthyear! Aku jadi makin penasaran dengan kata "ulang tahun" yang biasa kudengar.

Aku tidak meremehkan Bahasa Indonesia, karena aku suka Bahasa Indonesia dan aku berbahasa Indonesia. Tapi kenapa pikiranku tiba-tiba terusik pada kata "ulang tahun", padahal selama lebih dari 30 tahun aku sering mendengar kata-kata itu? Apakah karena aku berada pada kondisi lelah usai kerja dan melamun? Tidak juga! Pagi ini, saat badan dan pikiranku lebih segar, aku tetap saja merasa bahwa kata "ulang tahun" mengganjal pikiranku.

Sepanjang perjalanan menuju kantor, aku masih saja merenung. Mencari celah di seluruh komplek otakku untuk menemukan jawaban sebelum aku menuliskannya di sini. Tapi sama saja, keterbatasan otakku tak juga menemukan jawaban yang memuaskanku.

Sekali lagi, menurutku tahun tidak terulang. Boleh jadi hari bisa terulang, tanggal bisa terulang, dan bulan bisa terulang. Tapi tahun?

Selamat hari lahir anakku...

Tuesday, March 25, 2008

Tentang Angka dan Hari

Aku memandang kalender yang berada di atas mejaku. Satu persatu angka dan hari aku pelototi sampai mataku berair. Pikiranku masih berkecamuk mempersoalkan bagaimana orang mulai berpikiran untuk menemukan angka, bagaimana orang mempunyai ide untuk menyusun angka bahwa setelah satu adalah dua, setelah lima adalah enam dan seterusnya. Gila betul! Orang jenius atau orang sok tahukah yang bisa membuat urutan senin, selasa sampai minggu dan kemudian digunakan oleh manusia di seluruh dunia. Tak kalah heran, bagaimana dia bisa menemukan kata s.e.n.i.n dan seterusnya? Kenapa angka dua tidak bisa kita sebut angka delapan? Kenapa setelah Rabu selalu Kamis, tidak bisakah kita mengubahnya menjadi Minggu?

Apa yang akan terjadi jika ada sebuah perombakan besar-besaran di dunia yang mengizinkan orang untuk merubah urutan angka sesuai keinginannya, ditambah kebebasan meletakkan hari minggu di urutan hari. Aku tertawa dalam hati. Pasti berantakan seluruh permukaan bumi.

Bayangkan saja, orang berdesakan mencari nomor tempat duduknya di sebuah bis antar kota yang –oleh perusahaan bus tersebut—dipasang tidak berurutan. Belum lagi seorang direktur terbengong-bengong di kantornya karena dia sendirian di sana di hari Senin --yang oleh pegawainya diganti hari Minggu. Lebih besar lagi, bom nuklir meledak di sebuah benua, karena pengatur waktunya diset untuk meledak di angka 0 pada hari Sabtu. Sedangkan waktu penghitung mundurnya oleh pembuatnya sudah diset dari 30, 5, 0 dan Senin, Rabu, Sabtu. Luar biasa!

Saking takutnya membayangkan hal yang lebih hebat bisa terjadi, kusudahi saja tulisan ini. Kuputar balik logikaku untuk ‘menyeimbangkan’ pikiran kritis-gilaku tentang merubah urutan angka dan urutan hari. Aku acungkan jempol untuk manusia yang telah ‘mendefinisikan’ dua hal dari milyaran hal besar lain. Kugeleng-gelengkan kepala. Kagum.

Ditulis: 26 April 2005, Diambil dari emprithitam

Memahami Vs Dipahami

Menjadi manusia memang tidak gampang. Utamanya ketika harus berinteraksi dengan manusia lain. Tapi itu sudah takdir, bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa manusia lain. Aku tak akan ada di bumi ini tanpa ada ibuku. Ibuku tak akan pernah melahirkanku jika tidak ada nenekku. dan seterusnya. Itu baru dalam satu garis peran. Bagaimana dengan peran ayahku? Kakekku?

Kembali pada persoalan di atas; Tak gampang menjadi manusia. Untuk memahami manusia lain kadang menjadi kesulitan yang menyiksa. Memahami orang lain seringkali harus memotong tipis ujung kepentingan pribadi yang kita miliki. 'Memahami' dan 'dipahami' seperti serangkai kata yang tak mudah untuk disodorkan pada setiap orang.

Aku selalu berharap orang lain memahami semua daya pikirku, semua sepak terjangku, semua keinginanku, dan segala kepentingan yang berasal dariku. Sementara orang lain berharap sebaliknya kepadaku. Inilah benturan kepentingan pemahaman yang bersumber pada ke-egoan manusia. Tapi sayangnya, semua itu manusiawi. Dan segala hal yang sudah masuk kantong 'kemanusiawian' mau tak mau harus di terima, harus dipahami!

Seperti beberapa tahun lalu, ketika aku mencoba mengetuk pintu hati management di kantorku untuk meninjau kembali upah yang aku terima, konfrontasi antara memahami dan dipahami mengambil peran penting di sini. Aku berharap management 'memahami' kebutuhanku, tanggung jawabku, record kerjaku dan seterusnya dan seterusnya. Sementara perusahaanku --melalui management tentunya-- memintaku 'memahami' kondisi perusahaan yang tengah 'survive' menopang sekian pengeluaran dengan kondisi yang pas-pasan. Intinya aku harus memahami kondisi perusahaanku. Setuju! Akhirnya kita saling memahami bahwa 'kita harus saling mengerti'.

Konfrontasi memahami dan dipahami tak berhenti sampai di situ. Ketika tahun berjalan dan kondisi berada pada masa yang lebih baik, 'memahami dan dipahami' harus dibicarakan lagi sampai menemukan titik pemahaman setara. Pemahaman yang tidak saling merugikan. Pemahaman dimana perusahaan melakukan upaya yang membuatku merasa dipahami kepentingan dan kebutuhannya.

Tidak gampang menjadi manusia, tidak gampang menjadi pegawai, tidak gampang menjadi perusahaan dan seterusnya. Apakah bisa disimpulkan bahwa tidak gampang menjadi apapun? Aku tak tahu. Menurutku, memahami dan dipahami itu seperti 'kesabaran'; Sama-sama memiliki batas. Walaupun batas itu ralatif dan sedemikian abstrak, tetap saja mempunyai batas.

Yang sedikit merisaukan adalah memahami sesuatu yang tidak mau memahami. Ini sering terjadi pada komunitas yang mempunyai multi kepentingan pemahaman yang kompleks. Misalnya antara pegawai dan management, antara anak buah dan atasan, dan sebagainya. Sementara kandungan pemahaman dalam satu keluarga terasa --kalau boleh aku katakan-- lebih mudah dipahami karena tidak ada unsur "jual-beli" seperti dalam sebuah komunitas usaha.

Catatan:
Aku sedang tidak meremehkan 'pemahaman' dalam sebuah keluarga.

Ditulis: 1 November 2004, Diambil dari emprithitam

Kewarasanku Di Ujung Tanduk

Pertama, tentu aku senang bisa kembali mengalirkan seribu pikiranku ke dalam tulisan yang entah akan dibaca orang atau tidak. Sejujurnya aku tidak peduli. Bahkan aku tidak mau tahu apakah orang akan mengerti makna tulisan yang tertuang di sini atau tidak. Anehnya, saat menulis, aku masih memikirkan bagaimana tulisan ini bisa tertata dan enak dibaca. Aku masih memikirkan kesempurnaan tulisan yang aku buat dengan memilih dan menyusun kata sebaik yang aku mampu. Tapi buat apa? Buat siapa? Bukankah sudah aku katakan bahwa aku tidak peduli dengan orang akan membaca tulisan ini atau tidak? Aku sadar, kewarasanku berada di ujung tanduk...

Kedua, aku seperti menemukan kembali 'sahabat' aneh yang kusebut 'tulisan'. Bayangkan, aku yang biasanya tertawa, menangis, sedih, marah, dan sebagainya di pundak orang-orang terdekatku, tiba-tiba harus melampiaskan semua itu dengan mengandalkan jariku memilih huruf di papan ketik. Harus kuakui, ini terasa lebih sulit untuk dilakukan. Papan ketik ini tak boleh basah oleh air mata saat kupilih hurufnya ketika aku bersedih dan menangis. Pun tulisan yang kubuat tidak akan memberiku jalan keluar, tak akan memberiku saran dan tak akan pernah menyalahkanku. Dia hanya diam. Karena dia hanya memberiku tempat untuk menggelontorkan pikiranku dalam kata-kataku.

Ketiga, ini yang terakhir, tulisan ini menjadi surgaku; Surga pikiranku, surga kegelisahanku, surga semua emosiku. Sekaligus menjadi neraka yang akan membawaku ke dalam pembenaran pikiranku sendiri di banyak hal. Dan ini berbahaya. Tapi, itu resiko, pikirku.

Jadi, sepertinya aku harus menempatkan tulisan ini sejajar dengan akal sehatku, supaya bisa buatku bercermin. Dengan membaca apa yang tertuang di satu tulisan di beda waktu, mungkin aku bisa belajar dari masa lalu. Belajar tentang banyak hal dan mengambil hikmah dari apa yang terjadi saat sebuah tulisan tertulis. Semoga.

Ah, sudahlah, biarkan saja kata-kata sarat makna. Aku mulai saja membaca kata-kata berkata...