Friday, November 28, 2008

Perjalanan Membunuh Waktu

Beberapa hari tidak menulis sungguh menjadi siksa menahan semua tulisan di dalam kepala. Mungkin akhirnya ini terjadi juga, bahwa aku bisa tak sengaja jauh dari ngeblog.

Di awali beberapa hari lalu, ketika rencanaku pergi keluar kota tertahan pekerjaan yang tak berhenti. Kemudian di hari selanjutnya, kereta api meninggalkanku yang terjebak macet di lalu lintas Jakarta yang ruwet. Busway dan taksi ternyata tetap tidak mampu aku andalkan untuk membelah Jakarta.

Terdampar di Gambir dengan perut kosong dan tas ransel penuh barang menjadi deritaku selanjutnya. Lalu? Nyungsep di kantor sahabatku Radio Dalam janjian makan siang. Setelah itu nyasar ke Pasaraya Blok M, pura-pura baca koran sambil tiduran di sofa empuk (gak peduli satpamnya sewot), agak sore janjian dengan sahabat ke Plaza Semanggi. Di tempat ini, bahkan sempat mengikuti bincang bebas kampanye anti rokok.

Duh, jangan cap aku sebagai hedonis. Tapi itu benar-benar perjalanan membunuh waktu hingga jam kereta malam tiba, yang terjadi begitu saja, tanpa rencana...

Sekarang aku sudah ada di sebuah kota yang penuh keindahan buatku. Bermain dengan 2 boneka kecilku. Lucu.

Tuesday, November 25, 2008

Sunday, November 23, 2008

Lionel Richie - Stock On You

Stuck on you
I've got this feeling down deep in my soul that I just can't lose
Guess I'm on my way
Needed a friend
And the way I feel now I guess I'll be with you 'til the end
Guess I'm on my way
Mighty glad you stayed

I'm stuck on you
Been a fool too long I guess it's time for me to come on home
Guess I'm on my way
So hard to see
That a woman like you could wait around for a man like me
Guess I'm on my way
Mighty glad you stayed

Oh, I'm leaving on that midnight train tomorrow
And I know just where I'm going
I've packed up my troubles and I've thrown them all away
'Cause this t
ime little darling
I'm coming home to stay

I'm stuck on you
I've got this feeling down deep in my soul that I just can't lose
Guess I'm on my way
Needed a friend
And the way I feel now I guess I'll be with you 'til the end
Guess I'm on my way
I'm mighty glad you stayed

Friday, November 21, 2008

Sabar itu Palsu!

Sampai sore ini aku masih menahan diri untuk tidak melepaskan emosi yang sudah sampai di ujung lidah. Sejak kemarin, ada satu kondisi yang menyentil kesabaranku selama ini. Sabar yang selama ini menjadi tembok beton yang aku miliki tiba-tiba berubah menjadi selembar kertas tipis siap berhamburan.

Kalau orang yang sabar bisa marah, apakah sabar itu ada?

Eit tunggu dulu! Ingat, aku tidak mendudukkan diri sebagai orang sabar pada tulisan ini. Aku bukan tipe itu. Aku hanya orang yang jarang sekali marah, jarang sekali meledakkan emosi dan --sedikit-- tidak menyukai konfrontasi berbumbu emosi. Buatku, selama persoalan bisa diselesaikan dengan duduk sambil nyruput kopi, buat apa adu mulut?

Tapi sepertinya ada orang yang coba manfaatkan keadaan itu. Ada seseorang (dan lebih) yang coba 'bermain' di dalam lingkaran itu. Orang yang coba hamburkan kata, coba semprotkan dalil-dalil dan coba tempelkan nilai-nilai yang tak seratus persen dia ketahui.

Apa yang Anda katakan jika melihat seorang dokter bedah memandu seorang kepala montir cara membuka tutup oli mobil yang dipercayakan kepadanya untuk ganti oli? Oke, oke tidak apa-apa. Itu masih bisa dimaklumi. Mungkin Sang Dokter Bedah sering ganti oli sendiri, jadi tau bagaimana cara membuka tutup oli mobil miliknya itu dengan baik dan benar. Tapi bagaimana jika Dokter bedah itu mengatakan kepada Kepala Montir itu bahwa dia (montir itu) terlalu bodoh untuk menjadi montir? Bisa dibayangkan, tak perlu menunggu 5 menit untuk melihat keributan selanjutnya.

Sebenarnya sabar itu apa?
Apa sabar itu bahasa manusia untuk menyatakan 'status' seseorang yang belum emosi?
Apakah sabar itu 'sifat''? Apakah sabar itu 'sikap'?

Thursday, November 20, 2008

Tak Ingin Menulis

Aku belum ingin menulis
Tentang sajak tentang hati
Tentang sanubari

Aku lelah menulis
Pikiranku beku
Hatiku rancu
Tanganku ngilu
Terganjal batu

Biarkan malam candaiku
Mengetuk irama di kaca jendela
Tanah Jakarta
Tanpa tinta

Tuesday, November 18, 2008

Maafkan Ayah, Nak...

Maafkan ayah, Nak. Ayah ingkar lagi. Bukan karena ayah tidak mau, bukannya ayah tidak ingin. Tapi karena memang beginilah semua berjalan di luar kekuatan ayah. Ayah selalu ingin. Tak pernah berhenti...

Gak Ada Cinta Di Jakarta

Itu lelucon yang sering aku ucapkan, atau oleh teman-teman 'gilaku' saat tahu di kantorku ada rekan yang sedang kasmaran. Tentu saja kalimat itu tak tulus dari hatiku. Pun --aku yakin-- tak tulus dari hati teman-teman gilaku. Itu adalah lelucon paling tidak lucu yang sering terdengar di kantorku. Seperti jadi tren. Seperti jadi 'olokan' paling pas untuk membuat orang yang kasmaran bersemu merah, ngomel dan kadang-kadang langsung melempar kami dengan sekotak tisu sambil mengacungkan jari tengahnya. Kemudian kami tertawa bersama. Anehnya, lelucon ini tak pernah sisakan dendam dan tak pernah keluar dari dinding kantorku.

Tiba-tiba aku kepikiran, benarkah tidak ada cinta di Jakarta? Cinta seperti apa yang tidak ada di Jakarta? Cinta seorang kekasih kepada pasangannya? Mmm... entahlah. Cinta orang tua kepada anaknya? Cinta seorang pegawai kepada pekerjaannya?

Setiap pagi di hari kerja, hampir seluruh jalan di Jakarta menjadi 'medan perang'. Motor, mobil, angkot, bajaj, metromini seperti berlomba memiliki jalanan itu sendirian. Pernahkah kendaraan Anda tanpa sengaja menyerempet kendaraan lain? Apakah yang terjadi kemudian? Amarah plus emosi langsung mendominasi, bahkan kadang sampai langsung tonjok (pukul dulu, tanya belakangan).

Adakah cinta ketika seorang sopir metromini memaki habis-habisan karena berebut tikungan dengan kendaraan lain? Adakah cinta ketika seorang karyawan memaki seorang pesuruh kantor yang salah membelikan menu makan? Adakah cinta ketika seorang maling yang sudah tak berdaya dihajar hingga sekarat? Adakah cinta ketika orang saling pukul karena berebut masuk ke pintu bis Trans Jakarta? Adakah cinta di Jakarta?

Jakarta sebagai kota yang menyilaukan "hampir" sebagian besar warga 'daerah' memang menjadi tempat yang baik untuk belajar tentang cinta. Tak peduli cinta kepada siapapun. Bahkan cinta kepada Tuhan diuji ketangguhannya di sini. Paradigma bahwa Jakarta adalah surga pencaharian untuk menopang hidup membebani seseorang untuk survive dengan kekuatan yang dia miliki. Kekuatan yang bisa menghancurkan keimanan, kekuatan yang bisa luluhkan kepribadian, kekuatan yang bisa lelehkan kerendah-hatian, kekuatan yang bisa lumerkan cinta.

Adakah cinta di Jakarta? Kita masih saling membantu saat banjir melanda. Kita masih saling berebut ember untuk padamkan api yang membakar rumah tetangga. Kita masih saling mendoakan dan berjabat tangan usai Jumatan. Kita masih berbagi makanan dan pakaian kepada kaum papa si pelosok Jakarta. Dan seterusnya...

Adakah cinta di jakarta? Hanya Anda yang tahu jawabnya...

Sunday, November 16, 2008

Laporan Dong...

Ngantuk. Capek. Abis ikutan 'workshop' Om Adrie Subono di FX (walaupun gak lengkap, soalnya aku datang telat). Terus terang, aku lagi nunggu tulisan dari rekan blogger soal acara tadi (buat melengkapi 'data' di kepalaku). Emang lagi Go Blog, tangan dan mataku tetap saja menggerayangi mouse, klak-klik sana-sini, blogwalking tanpa menyerah.

Walaupun tidak dari awal berada di sana, secara umum workshop tadi keren banget. Om Adrie blak-blakan berbagi suka-dukanya membangun dan mengurus Java Musikindo. Cerita unik tingkah polah artis luar negeri yang didatangkannya juga bikin kita tidak bisa menahan tawa. Apalagi 'rahasia-rahasia' bisnis dan resep itung-itungan budget juga disentil dalam acara itu. Ah sudahlah, kita tunggu aja. Semoga ada tulisan lengkap Workshop tadi.

Ngantuk makin berat tapi mouse dan tangan masih melekat.

----------

Cuplikan acaranya ada disini, juga disini

Saturday, November 15, 2008

Biarkan "Kubunuh" Anakku...

Mahkamah Agung Italia mengabulkan permohonan seorang pria untuk mencabut selang makanan yang dihubungkan ke tubuh anak perempuannya yang terbaring koma berkepanjangan. Pria tersebut akhirnya dibolehkan untuk membiarkan putrinya itu meninggal setelah 16 tahun berada dalam kondisi koma.

Aku terpaku pada alinea pertama berita detikcom yang terhampar di mukaku yang kusut. Beberapa saat kemudian aku langsung habiskan berita itu sampai alinea terakhir. Ngenes! Sebagai seorang ayah, mungkin, ini mungkin, aku bisa sedikit rasakan bagaimana perasaan Beppino Englaro melihat anak yang dicintainya terbaring dalam kondisi vegetative state bertahun-tahun.

Bermula ketika pada tahun 1992 sepulang menjenguk salah satu temannya yang tengah koma, sebuah kecelakaan mobil menimpa Eluana Englaro. Saat menjenguk temannya Eluana sempat mencetuskan penolakannya untuk dirawat jika dirinya mengalami kondisi yang sama dengan temannya. Tapi ternyata takdir membawanya pada keadaan itu. Eluana koma selama 16 tahun.

Tulisan ini bukan hendak 'mengadili' keputusan Beppino Englaro, ayah Eluana. Tidak juga untuk mengamini penolakan berbagai pihak yang menolak --melalui pengadilan-- keputusan Beppino yang dianggap sebagai Euthanasia dengan melepas selang yang menyuplai makanan ke tubuh Eluana. Italia tidak mengizinkan praktek euthanasia yang menggunakan metode seperti penyuntikan obat dengan dosis mematikan. Pasien punya hak untuk menolak pengobatan, namun tak ada ketentuan yang mengatur jika pasien koma berkepanjangan.

Lebih jauh dari itu...

Keputusan Beppino-lah yang sebenarnya perlu dimengerti. Bagaimana seorang ayah sanggup menentukan pilihan paling menyakitkan atas keadaan anaknya. Tentu keputusan Beppino meminta pihak rumah sakit untuk mencabut selang itu didasari rasa cintanya yang teramat besar untuk anaknya. Ia tak sampai hati melihat Eluana (yang cantik itu) tergolek antara hidup dan mati selamanya. Dia lebih tahu, dia lebih merasakan --dibanding pihak yang menentang keputusan 'menyakitkan' itu-- kepedihan luar biasa untuk "mengakhiri" hidup Eluana, anaknya tercinta.

Aku Jadi ingat cuplikan cerita di buku Pin Yathay (Pertahankan Hidupmu Anakku -Kisah Nyata Korban Kekejaman Khemer Merah):
Orang bilang bahwa pengorbanan seorang ibu adalah mati bersama anaknya. Keliru--bila kematian sudah tak terelakkan, pengorbanan paling mulia seorang ibu adalah meninggalkan anaknya, hal itu untuk memperpanjang hidup anak itu.

Apapun itu, anak adalah cinta. Dia lahir karena cinta. Kita sebagai orang tua selayaknya menjaga, melindungi dan mendidiknya walaupun kadang harus melalui jalan terpahit...

Semoga ada keajaiban untuk Eluana...

Friday, November 14, 2008

Berhenti Ngeblog!

Mungkin aku kuwalat. Beberapa waktu lalu sempat mengomentari tulisan di blog Fanabis yang berjudul "Disetrap Facebook". Aku gak habis pikir, masak sih sampai segitunya Mbah KW kesengsem Facebook. (Mungkin) Aku sudah punya Facebook lebih dulu dari pada Direktur Fanabis itu, tapi sampai hari ini aku belum melihat keasyikan di sana, selain pernak-pernik yang rumit menurutku (Duh, ndeso banget ya aku...).

Memang, selain untuk melihat foto teman (yang lebih sering diupdate daripada Friendster), si "Buku Muka" ini menawarkan 'intervensi' user yang lebih asik dan jamak. Dan aku adalah orang yang sama sekali tidak bisa memanfaatkan si Buku Muka itu. Bukannya tidak mau, tapi benar-benar tidak bisa alias ora dong, not understand!

Satu-satunya mainan yang bisa bikin aku teler ya si blog ini. Aku kayak kesurupan blog (paling tidak sampai saat tulisan ini ditulis). Bayangkan, hampir setiap 5 menit aku membuka blog (selama 24 jam!). Kemudian baca postingan sana-sini, komen sana-sini dan sesekali posting tulisan sendiri.

Bukannya tidak punya kerjaan, tapi gerakan Go Blog ini tidak bisa aku hentikan. Misalnya, sambil menunggu komputer loading membuka aplikasi, iseng-iseng buka browser: Eh, blog juga yang dibuka. Lalu? Baca postingan sana-sini, komen sana-sini dan sesekali posting tulisan sendiri. Parah!

Kalau tidak segara dihentikan, bisa jadi semua kerjaanku akan berantakan. Tapi gimana caranya? Aku seperti dapat tempat untuk bicara menulis semauku di blog ini. Belum lagi kalau mendapat teman-teman yang bikin mules pas ngasih komen saking lucunya.

Pusinggg!

Thursday, November 13, 2008

Singkong Super

Tadi siang (di JCC, Indocomtech) perutku melilit minta di isi karena sejak pagi tak sesendokpun nasi aku nikmati. Sambil lirik kanan-kiri melihat pemandangan mengenaskan SPG (Sales Promotion Girl) beberapa perusahaan yang kekurangan kain untuk seragamnya (serba minim dan tinggi --roknya tinggi), aku mencari tempat makan di arena pameran.

Mmm, sepertinya di lantai 2 ada tempat makan yang asyik. Sambil melihat antrian dan banyaknya Pramusaji berseragam orange yang keren-keren, aku menakar harga yang akan aku terima saat aku makan nanti. Dijamin pasti tinggi dan menyayat hati. Setelah berdiskusi (tepatnya berbisik) dengan temanku yang sama-sama kelaparan, akhirnya aku (dan temanku tadi) urung makan di sana.

Dengan gontai aku meninggalkan 'warung makan ekskusif' itu, keluar hall JCC dan menuju warung makan kaki lima yang berada tak jauh dari gedung itu. Tepatnya di sebelah gerbang masuk JCC, sebelah area parkir motor.

Jangan tanya suhunya sepanas apa. Sejak perjalanan menuju ke warung kaki lima itu, keringat sudah membasahi kening dan punggungku. Apalagi saat duduk di salah satu warung itu. Huahhhh! Tempat yang sempit, tenda yang pendek, matahari tengah hari bolong dan cucuran keringat makin membuatku berasa mandi sauna (suerrr, cuma tau mandi sauna di film-film, belum pernah sekalipun!).

Aku pesan ayam goreng dan teh botol. Total Rp 15.000,-

Agak kaget juga dengan harga itu. Sepertinya semua jadi serba mahal sekarang. Apakah ini artinya krisis dunia sudah dimulai? Atau memang aku yang rada pelit pada diri sendiri sehingga menganggap harga itu gak 'setimpal' dengan menu yang aku terima? Kemahalan? Kok iya menurutku!

Sebelum kembali ke hall JCC mataku tertuju pada tumpukan singkong goreng mengepul di depan warung tempatku makan tadi. Kukeluarkan selembar 5 ribuan dan menunjuk singkong itu sebagai penggantinya. Uedannn, aku dapet 5 potong singkong! Berarti satu singkong goreng harganya Rp 1.000,-? Kemahalan? Lagi-lagi iya menurutku!

Sambil berjalan menuju hall aku berpikir, suatu hari singkong ini bisa berharga Rp 1.000.000,- sepotong. Entah kapan...

Wednesday, November 12, 2008

Haruskah Aku Akhiri Kesabaran Ini?

Aku harus mempunyai kesabaran berlebih. Beberapa kali ini saudaraku mengeluarkan lidah api yang melecuti tubuhku dengan lisan tak terputus. Memvonisku dengan petuah-petuah licin yang sesungguhnya tak dia mengerti artinya. Apakah ini perlu? Apakah ini harus?

Kadang-kadang aku bertanya dalam hati, siapakah sebenarnya dia, malaikat surga yang memapahku menuju jalan benderang yang di jalan-Mu? Atau seorang yang bersuci di depanku sementara tanduk dan ekor berujung tombak mengibas di belakangnya?

Atau dia hanya ingin menjatuhkanku pada kaki-kaki di sekelilingku? Agar dia bisa berdiri lebih tinggi dengan jumawa sambil bertahta "Akulah jalan lurus!". Entahlah. Saat mencoba melawannya dengan lidah yang sama berapi, dia selalu bisa padamkannya.

Aku menghindari konfrontasi dengan siapapun. Tapi ini justru menjadikan bumerang yang melemahkanku. Bukan tak miliki jiwa perang seperti laki-laki lain, tapi energiku hanya terbuka pada kekuatan yang lain. Kekuatan merambahi setiap persoalan dengan kepala sedingin salju. Sekalipun hati beku membiru... hingga saatnya nanti...

Haruskah aku akhiri kesabaran ini?

Tuesday, November 11, 2008

Maureen Jatuh Cinta

Rambutnya cepak simpel ala Demi Moore di film Ghost (1990). Penampilannya boleh dibilang ‘biasa’. Tidak ada yang istimewa dari caranya berdandan. Dia tak kenal lipstik, gincu atau maskara. Alami. Alisnya asli tanpa dibentuk dengan pensil atau tato alis. Hidungnya mancung lancip. Tapi sungguh, itulah yang justru membuat setiap orang senang menatap wajahnya berlama-lama. Tak peduli laki-laki atau perempuan.

Namanya Maureen, dia adalah adik kelasku. Walaupun begitu dia cukup dekat denganku. Mungkin karena dia begitu enerjik dan ramah, mau tak mau semua orang jadi kenal dengannya. Badannya boleh dibilang kurus untuk cewek setinggi dia. Suaranya cempreng dan medok Jawa saat berbahasa Indonesia, tapi dia cuek aja. “Jawa is my country,” katanya saat orang meledek karena aliran medokisme-nya.

Sudah seminggu ini Maureen menjadi pendiam. Dia yang biasanya menyapa kanan-kiri dan bahkan iseng colek kanan kiri saat menuju kelasnya kali ini berjalan gontai melewati kerumunan teman-temannya yang terbengong-bengong melihat perubahannya. Wajahnya tidak pucat, artinya dia tidak sakit. Tapi, ah, tapi, ya ampun…

Semua terkesima melihat wajah Maureen hari ini. Walaupun alisnya masih utuh tapi bulu matanya lebih hitam dari biasanya tanda ia memolesnya dengan maskara. Pipi kiri kananya bersemu merah muda adonan gincu. Dan, mmm, bibirnya, lipstik merah muda dengan efek basah memantulkan cahaya saat benturan dengan sinar matahari pagi ini.

“Maureen, kamu sakit?” Tanyaku yang mencegatnya saat dia hampir melewati tempatku berdiri.

“Eh, hai, nggak kok, aku gak sakit,” jawabnya kelabakan.

”Tapi kamu kok….”

“Kenapa, perubahan ini? Aku ingin ganti suasana Mas. Gak apa-apa kan? Bagus gak mas? Cocok gak?” Gantian aku yang mlongo mendapat cecaran pertanyaan dari Maureen.

“Cocok. Kamu tetap cantik kok,” kataku berbohong. Padahal sejujurnya aku suka wajahnya yang alami sebelumnya. Tapi aku harus bohong supaya dia tidak kecewa. Bukankah bohong untuk kebaikan itu tidak apa-apa? (emang iya? huuu…).

Sejenak kemudian Maureen sudah menjauh dariku. Aku hanya bisa pandangi tubuhnya dari belakang sampai menghilang di dalam kelasnya.



“Dul, udah denger gosip soal Maureen?,” tanya Nyo, sohib kentalku.

“Maureen kenapa?,” aku balik bertanya dengan muka andalanku; Muka blo’on!

“Mauren udah punya pacar sekarang. Dia dah kenalin pacarnya tadi pagi ama sohib-sohibnya…”

“Woo, baguslah kalau begitu,” kataku datar. Aku tidak ambil pusing Maureen sudah punya pacar atau belum, karena sekalipun cantik, Maureen bukan cewek impianku. Aku bergegas menuju parkiran motorku di belakang gedung.

“Woi, woi, woi, lu gak nanya Maureen pacaran ama siapa?” Nyo mengejarku. Dia penasaran aku tak tertarik mendapat informasi lebih jauh tentang Maureen. Aku mengangkat alisku, tanda menunggu Nyo melanjutkan kalimatnya.

“Maureen pacaran ama Bas.”

Jederrrr!!!
Bas? Bas si manusia sejuta aroma itu? Bas yang setiap gerakannya menebarkan aroma menyiksa bagi mahluk hidup di sekitarnya? Bas yang rambutnya sudah dwiwarna dan tak bercahaya itu? Bas yang setiap makan bareng di Warteg selalu minta nambah rendang jengkol campur rentetan petai bakar itu? Bas yang keberadaannya bisa tercium dari jarak 10 meter tanpa melihat dia berdiri di sebelah mana itu? Kok Bas sih? Kok Maureen pacaran ama si Bas?

Aku tak habis pikir. Maureen, wanita secantik itu akhirnya jatuh cinta pada Bas, pemuda biasa aja yang jarang diperhitungkan cewek-cewek di dunia. Walaupun, ya, walaupun sejujurnya aku tidak ada masalah dengan Bas. Tapi Kenapa dia ya? Kenapa Maureen tidak menerima cowok lain yang jatuh bangun mengejarnya selama ini? Apa yang ditemukan Maureen dari keadaan Bas sekarang ini? Bas bukan milyarder juga. Apa sih ’sesuatu’ yang membuat Bas istimewa di mata Maureen? Jangan-jangan Bas main dukun…

Gubrak!
Tiba-tiba kepalaku sudah berada di aspal (Untung pakai helm). Aku kaget setengah mati. Seorang pedagang asongan tergeletak di depanku sambil meringis dan memaki ke arahku, tangannya mengacung-acungkan tinju. Aku lihat dagangannya berantakan. Aku melihat sekeliling, semua orang menatapku dengan kemarahan. Bahkan beberapa tukang becak memaki dan menyalahkanku sambil menuding mukaku. Aku masih bingung. Semua gara-gara Bas! Semua gara-gara Maureen!

Atau semua gara-gara aku?

Rindu Pada Sendiri

Rinduku pada anak-anakku memuncak.
Sedang apa engkau Nak?
Ceritakan harimu kepadaku malam ini
Lewat mimpi

Sebait itu saja yang muncul di kepalaku. Hujan deras di Jakarta ingatkanku pada sepi yang kudiami. Aku sendiri memungut sunyi pada kumpulan orang-orang yang mengais nasi sendiri-sendiri.
Rinduku pada anak-anakku memuncak.
Sedang apa engkau Nak?
Ceritakan harimu kepadaku malam ini
Lewat mimpi

Suara telpon berdering manja meminta diterima. Berbicara aku pada kebisuan semata. Karena nada sudah sirna. Seperti celurut yang gontai tak temukan rongga menganga. Seperti elang tak temukan ranting tuk sarangnya.

Sendiri ini sudah lewati batas. Membelah kepala yang telah meretas. Terlipat seperti kertas. Tak menetas

Monday, November 10, 2008

Esok Hari Engkau Mati!

Apa yang kita lakukan jika kita mendapat berita: "Esok Hari Engkau Mati"? Apa yang kita langsung lakukan mendengar daulat itu? Apa yang kita lakukan saat kita mendengar trompet Sangkakala kematian memekak telinga kita? Memeluk orang yang kita cintai; orang tua, suami, istri, anak, saudara, kerabat? Atau seketika langsung membersihkan diri dan bersimpuh sesuai keyakinannya berharap pada "pensucian" diri seketika? Atau justru merampungkan proyek duniawi yang belum terlaksana sesuai rencana? Membeli ini itu, pergi ke sana-sini, dan sebagainya?

Aku tak habis pikir, jika jadwal kematian manusia dipublikasikan secara umum, apa yang akan terjadi pada dunia? Kekacauan massal atau justru peningkatan religiusitas serempak di penjuru dunia? Orang saling memanfaatkan sisa waktu untuk sampai pada pencapaian duniawi atau malah saling berbelas kasih-berbagi cinta kepada sesama manusia?

Siklus waktu telah mengajarkan bahwa kematian pasti datang, entah kapan. Bahkan sebagian orang pahami bahwa bunuh diri-pun sebenarnya telah digariskan. Bunuh diri bukan jalan pintas mendahului ke-Maha Pengertian Tuhan. Semua masih dalam pengawasan-Nya. Bunuh diri, bencana alam, perang dan sebagainya adalah tetap dalam rencana-Nya. On schedule dalam buku catatan Tuhan.

Betapa besar kepasrahan pejuang-pejuang yang membela tanah airnya, membela agamanya dan membela harkat dan martabatnya sebagai manusia. Karena pejuang sebenarnya pahami bahwa dia telah berserah kepada Tuhan melalui perang. Perang yang tak jamin dia kembali pulang kepada keluarganya, pun tak jamin dia akan binasa di medannya.

Selamat Hari Pejuang! Selamat Hari Pahlawan!

----

Tulisan ini terinspirasi opini publik mengenai hukuman mati terhadap terpidana mati kasus Bom Bali, juga tentang Hari Pahlawan. Ditulis dari cara pandang yang nyleneh tentang kematian...

Michael Learns To Rock - Sleeping Child

The Milky Way upon the heavens
is twinkling just for you
and Mr. Moon he came by
to say goodnight to you

I'll sing for you I'll sing for mother
We're praying for the world
and for the people everywhere
gonna show them all we care

Oh my sleeping child the world's so wild
but you've build your own paradise
That's one reason why I'll cover you sleeping child

If all the people around the world
they had a mind like yours
we'd have no fighting and no wars
there would be lasting peace on Earth

If all the kings and all the leaders
could see you here this way
they would hold the Earth in their arms
they would learn to watch you play

Oh my sleeping child the world's so wild
but you've build your own paradise
That's one reason why I'll cover you sleeping child

I'm gonna cover my sleeping child
Keep you away from the world so wild

Thursday, November 6, 2008

Kerispatih - Tentang Sebuah Kisah

Mereka takkan pernah
Tau tentang kita
Tak pernah sedikitpun
Pahami kisah kita

Sudahlah jangan lagi
Mencoba tuk bersedih
Ada aku disini
Mengerti perasaanmu

Hari ini ku harus katakan
Aku mencintaimu
Bukan karena siapapun
Atau bukan karena mereka

Cinta itu butuh pengorbanan hati
Dan cinta tak butuh waktu yang sesaat
Jika kita bertahan
Cinta itu milik kita

Jika cinta dasar dari semua ini
Hadapilah segalanya
Dengan lapang dada
Meski pahit disana

Tuesday, November 4, 2008

Start The Day With A Cup of Coffee

Wanita kurus kulit putih mata sipit dengan kacamata minus sedang itu adalah kawan baruku. Orangnya simple, enerjik dan kadang-kadang unik. Setiap pagi dia ke kantor dengan backpack Converse hitam yang nangkring di punggungnya, seperti koala.

Buatku, orangnya agak nyentrik. Untuk ukuran wanita dia tidak peduli dengan dandanannya. Bukan kumal, bukan berantakan, dia tetap bersih. Hanya jauh lebih biasa daripada wanita pekerja di Jakarta ini. Bayangkan hampir tidak pernah aku melihatnya memoles bibirnya dengan lipstick, atau mendapati pipinya merona merah karena polesan gincu. Rambutnya juga tidak berkiblat pada rambut-rambut masa kini. Aku yakin, dalam sepuluh tahun berlalu rambutnya tidak berubah selain hanya panjang dan pendeknya saja. Uniknya...ya uniknya...dia tak ambil pusing dengan penampilannya. So what gitu lho, kata dia...

Start the day with a cup of coffee. Mm, kalimat itu selalu mengiringi nickname-nya di list Messenger-ku saat dia online. Artinya, beberapa centimeter dari tangannya --aku yakin-- segelas kopi panas sudah menanti direguknya. Kopi. Ah, bicara soal kopi ingatkanku pada kebiasaanku yang juga gila kopi. Sampai gejala batu ginjal aku dibuatnya.

Pagi ini, seperti biasa aku sibuk dengan pekerjaanku yang tak kunjung usai (kerjaan habis = kantor tutup). Rutinitas. Baju rapi, badan wangi dan sedikit berisik obrolan pagi kawan-kawanku satu kantor menjadi hal yang biasa buatku. Sepertinya tidak habis cerita sekalipun mereka bertemu setiap hari. Selalu ada bahan bicara.

Kopi dengan creamer tinggal setengah cangkir di hadapanku. Bolak-balik kulihat list Messenger di komputerku, mm...belum ada status yang aneh di dalamnya, selain keluhan-keluhan atas pagi yang cerah ini. Aku belum melihat wanita kurus kulit putih mata sipit dengan kacamata minus sedang itu online.

Sepuluh menit, tiga puluh menit, satu jam, dua jam, tak juga aku lihat status Messenger itu menyala. Aku bertanya dalam hati, apakah dia tidak kerja hari ini? Eitt, peduli apa aku, toh dia hanya teman. Aku juga sudah berkeluarga dengan istri dan anak-anakku yang lucu. Aku juga bukan boss-nya yang melotot jika dia lalai dengan pekerjaannya. Kebiasaan melihat status Messenger-nya-lah yang membuatku merasa itu bagian dari salah satu rutinitas harianku.

Akhirnya kuabaikan ketergantungan itu. Aku melanjutkan pekerjaanku mengolah, mengulik, mengukur, menilai bentuk, warna dengan rasa dan mata. Sesekali tangan kiriku menarik cangkir kopi di sisi kiriku dan menenggak isinya perlahan. Sampai tiba-tiba...

Ding! Aku melihat status Messenger nickname yang aku kenal online. Secepat kilat aku buka list Messengerku untuk memastikan wanita kurus kulit putih mata sipit dengan kacamata minus sedang itu sudah bertengger di mejanya.

"Start The Day With Tears". Hah? Aku terheran-heran, baru pertama kali aku melihat perubahan status Messenger-nya seperti itu. Ada apa dengannya? Apakah dia ditimpa musibah dalam perjalanan ke kantor? Sesiang ini? Atau dia berpisah dengan kekasihnya? Atau sesuatu terjadi pada keluarganya? Penasaran aku memberanikan diri menyapanya lewat Messenger itu...

"Pagi. Ada apa, kok tumben statusnya berubah? Ikut sedih ya..." Aku coba memberi simpati kepadanya.

"Pagi. Iya aku lagi sedih, tapi aku gak bisa cerita ke kamu Mas..."

"Oh ok, gak apa-apa. Semoga kamu kuat ya. Kesedihan itu bisa dilalui kok kalo kita kuat. Sabar ya friend," Aku coba menghiburnya. Sejujurnya aku penasaran atas kesedihannya. Biasanya dia banyak bercerita tentang apa saja kepadaku. Tapi pagi ini aku tidak mau memaksanya.

Tak berapa lama aku dipanggil Bossku. Sejarah mencatatnya! Aku tertawa dalam hati. Setelah lebih dari lima tahun bekerja di kantor ini, inilah pertama kalinya aku dipanggil boss-ku. Mungkin sudah waktunya aku mendapat promosi, hiburku.

"Tok, tok, pagi Pak," aku mengetuk pintu sambil melongok ke dalam ruangan bossku yang luas dan asri.

"Pagi Dul, silakan duduk. Apa khabar?"

"Baik Pak. Ada apa Pak?"

***

Aku duduk menatap kosong List Messenger di komputerku. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku bisa menghidupi keluargaku? Kemana lagi aku harus mencari kerja? Setelah lima tahun lebih bekerja aku di-PHK dengan alasan tidak produktif lagi? Pesangon yang aku terima juga tak seberapa besar untuk bertahan hidup selama beberapa bulan sambil mencari kerja baru. Bagaimana aku ceritakan ini pada keluargaku?

Lamat-lamat aku mendengar bisik-bisik bahwa posisiku akan digantikan wanita kurus kulit putih mata sipit dengan kacamata minus sedang itu!

Hujan Senja Hari

Hujan melibas Jakarta dengan selimut dingin bekukan sungsumku. Kutarik kerah leher jaketku lebih ke atas agar berikanku kehangatan berlebih. Aku masih saja membaca sebuah buku Pin Yathay tentang kanak-kanak korban perang Khmer Merah. Sedari tadi aku sudah larut pada buku yang ada dihadapanku. Sebenarnya dingin dan hujan tak begitu menggangguku karena aku sudah temukan hangat di kafe ini --dengan sepiring pisang keju dan segelas coklat panas--. Jadi aku masih menikmati setiap kata-kata di buku meskipun derai hujan menggelitik kaca di sampingku. Sampai suatu ketika...

"Sayang, alangkah kami butuh pelukmu di hujan dan petir senja ini"

Aku menoleh ke kanan dan kekiri. Kucari sumber suara yang dekat sekali di telingaku tadi. Sepi. Tak kulihat satupun orang berada di dekatku. Hanya ada dua meja yang terisi selain mejaku. Itu juga tidak terlalu dekat dengan mejaku. Satu orang duduk di sebelah kananku dipisah satu meja besar. Sementara yang lain lagi --ada 3 orang-- duduk di satu meja yang jaraknya lebih jauh dari orang pertama tadi. Tepatnya di sudut setelah lewati empat meja di sebelah kiriku. Jadi tak mungkin dari mereka mempunyai kecepatan super untuk berbisik di telingaku dan bak kilat kembali ke tempat duduknya semula.

"Sayang, alangkah kami butuh pelukmu di hujan dan petir senja ini"

Mmm, kalimat itu berulang lagi di telingaku. Kali ini aku bersiap melayaninya. Kututup buku ditanganku dan meletakkannya di meja. Di antara gelas dan sepiring pisang goreng keju yang belum separuh kusentuh.

"Siapakah engkau?" tanyaku sambil memejamkan mata, berharap telingaku lebih jeli mengenali suara-suara itu.

"Sayang, tidakkah engkau ingin memeluk kami? Hangatkan kami di dingin dan hujan senja ini? Kami teringkuk berpelukan di kamar terhasut kengerian pada petir yang menyambar-nyambar di luar sana"

Ah, suara itu. Aku mengenalnya. Suara belahan jiwaku nun jauh di dalam tubuhku yang paling dalam. Di satu kamar sederhana di dalam hatiku. Meringkuk di atas dipan jati di sebelah jantungku sambil menunggu cemas kedatanganku yang dapat tenangkan dan hangatkannya.

"Cintaku, aku akan datang dan temani kalian hadapi hujan dan dingin senja ini. Tunggulah barang sejenak, akan aku bawakan selimut tebal bulu-bulu hangat, secangkir coklat panas dan selusin donat empuk sebagai buah tangan buatmu," aku coba tenangkan belahan jiwaku yang masih berpelukan di sudut dipan. Aku tersenyum hiba pada mereka.

"Sayang, hanya engkau yang kami butuhkan. Pelukmu pada kami adalah selimut paling hangat yang kami inginkan. Candamu bersama kami melebihi nikmatnya secangkir coklat panas yang kami butuhkan, dan belaian tanganmu adalah sentuhan terempuk daripada tumpukan donat rasa apapun..."

Aku buka mataku. Kuletakkan secarik uang kertas sebagai pengganti sepiring pisang keju dan secangkir coklat yang mulai dingin di atas meja. Kuambil buku yang kugeletakkan di atas meja tadi dan bergegas meninggalkan kafe itu. Kupejamkan mata. Kunaiki angin yang berhembus basah di kota Jakarta, menembus dimensi dunia khayal dalam tubuhku sendiri. Melewati jantung, menembus rongga-rongga di antara rusuk-rusukku dan mencapai rumah hatiku yang terang bercahya. Rumah indah yang kami pagari dengan daun-daun cinta dan tumbuhan kasih sayang.

---------

Untuk kalian belahan jiwaku nun jauh di sana...

Monday, November 3, 2008

Dia Bukan Pusat Tata Surya!

Baru saja sakit hati, tapi tidak jadi. Nanti dikira aku seburuk pikirannya. Tapi apa mau dikata sakit hati ini tiba-tiba berdiri. Bukan sakit hati kepada dia, tapi sakit hati pada pemikirannya yang terlalu sempit.

Ada orang menulis tentang dirinya, tentang pemikirannya, tentang karakternya, tentang ka-aku-annya. Dia merasa dirinya adalah kebenaran, bahkan dia canangkan dirinya sebagai pusat tata surya pola pikir manusia. Dia mengaku manusia sosial, tetapi kepedulian dia hanya sebatas lidah (Yang sesungguhnya malah masukkan dia pada kelompok manusia 'tak peduli').

Orang yang aneh. Dia bicara tentang agama, dia bicara tentang hukum, dia bicara tentang Ketuhanan, tapi dia sendiri cerita tentang bagaimana dia tidak ambil pusing dengan sekelilingnya. Dia menjelekkan bangsa lewat mulutnya tapi malah dia sendiri yang permalukan bangsanya. Dia merasa menjadi bangsa dengan ras, pekerti, agama, sosial dan budaya yang tinggi tapi dia tak lebih dari orang yang menggerogoti pengetahuannya sendiri.

Dari tulisannya dia salahkan siapapun di sekelilingnya, orang tuanya, saudaranya dan semua kehidupan di sekelilingnya atas keadaannya sekarang. Tapi dia berdalih dan bersembunyi di balik kata-katanya yang berbisa dengan memutarbalikkan fakta.

Dia mengkultuskan dirinya sendiri dengan memiliki nilai keimanan yang teramat besar dengan selalu "dekat" dengan Tuhan (hanya Nabi, manusia yang sangat "dekat" denganMu). Karena nabi tidak punya dendam, tidak punya kebencian, penuh cinta kasih dan peduli dengan sekelilingnya. Sementara dia masih mempunyai kebencian pada sesama, menghasut orang membenci bangsa lain dan merasa bangsanya sendiri yang paling mengerti peradaban, keimanan, hukum dan pola pikir yang lebih tinggi dari bangsa lain. (Sayang sekali, mulutnya lebih besar dari isi kepalanya...)

Sepertinya tak ada cermin di rumahnya. Sepertinya tak ada atlas atau bola bumi di kamarnya. Jadi dia tak mengerti sedikitpun tentang siapa dia sesungguhnya, berada di mana dia sesungguhnya.

Di akhir tulisannya dia berkata bahwa hanya orang bodoh yang tersinggung, marah atau sakit hati. Seperti jebakan yang mengharuskan orang yang terusik --karena sisi manusianya justru lebih normal-- untuk HARUS diam dan mengamini opininya. Sementara yang diam akan dijadikan sekutunya karena dipaksa sepaham dengannya.

Masih saja ada orang biasa dari bangsa biasa yang merasa luar biasa. Semoga aku dijauhkan dari orang seperti itu. Dan semoga dia segera kembali menjadi manusia rendah hati yang berpikir manusiawi. Amin.

Aku Hanya Ingin

Aku ingin bisa
Bisa ini bisa itu
Bisa begini bisa begitu

Aku ingin mampu
Mampu ini mampu itu
Mampu begini mampu begitu

Aku ingin sanggup
Sanggup ini sanggup itu
Sanggup begini sanggup begitu

Aku ingin dapat
Dapat ini dapat itu
Dapat begini dapat begitu

Aku hanya ingin...

Tahukah Engkau Anakku?

Sedang apa engkau di sana Nak? Terlelap dalam mimpi indahmu? Sudahkan engkau merengek memanggilku lagi buatku temanimu tidur? Sudahkah engkau melamun lagi membayangkan kita jalan-jalan di kotamu sebelum matamu terpejam?

Anakku sayang, sudahkah engkau merajuk mengatakan betapa tidak enaknya kotamu tanpa aku? Sudahkah engkau rengek-kan bahwa kamu ingin liburan denganku? Sudahkan engkau susun rencana untuk membeli kalung, gelang, cincin, boneka, pensil, tas, bolpen, stabillo, lem, penghapus, kertas surat, buku, penggaris, tempat pensil, sandal, baju, bandana, mobil, donat, berlian, motor, kopi, jajanan, sarung tangan, kacamata, dan semua pernak-pernik kesukaanmu jika aku datang?

Sayangku, apakah engkau masih memeluk boneka Dino-mu sambil berkata "ayah, selamat bobok ya..." sebelum tertidur? Masihkah engkau berharap aku membelamu saat kawan-kawan nakalmu mengganggu? Masihkah engkau menungguku menemanimu bermain sepeda sambil bercanda? Masihkah engkau memanggilku saat bangun tidur dengan mata yang belum terbuka?

Anakku sayang, apakah isi kepala kanak-kanakmu pahami di sini akupun mati rindu kepadamu? Apakah kerianganmu mengerti bahwa seluruh isi kepalaku memikirkanmu setiap waktu? Apakah engkau sadari, wahai anakku, aku selalu ingin melihatmu pertama kali saat engkau buka matamu di pagi hari?

Mungkinkah engkau mengerti duhai anakku sayang, tangismu, lukamu, sakitmu, deritamu adalah kepedihanku yang paling besar? mengertikah engkau, tawamu, riang gembiramu, senyummu adalah bahagia tak terkira di sepanjang hidupku? Tahukah engkau anakku, aku ingin memelukmu?