Thursday, April 3, 2008

Putus Asaku, Asaku Putus

Putus asaku, asaku putus

Otakku tak mampu lagi menggenggam
Betapa berat dan besar sesuatu yang memasukinya

Putus asaku, asaku putus

Jalanku tertutup jembatanku ambruk
Betapa besar sesuatu yang melewatinya

Putus asaku, asaku putus

Tak ada lagi kekuatan yang bisa bangkitkan
Justru kematian yang dihadapkan

Ah, Aku Romantis...

Aku geli, tulisan dan penampilanku dinilai berseberangan.

"Tampang sih bandel tapi begitu menulis menye-menye, romantis, mendayu-dayu," nilai karibku usai membaca tulisanku.

Sungguh penilaian yang sangat aku hargai. Apalagi dikatakan oleh satu dari karibku di bumi. Tau sendiri, seorang karib mempunyai penilaian yang jujur dan tentu murni berasal dari hatinya. Aku tak mengamini tak juga menyangkal. Buatku, penilaian itu adalah bentuk kasih sayangnya buatku. Bentuk perhatian yang tidak berharap pada imbal apapun. Penilaian yang murni dan tulus.

Hmmm romantis ya. Aku pikir semua manusia punya sisi itu. Selama manusia masih mampu mengecap rasa tidak hanya melalui lidah dia akan miliki potensi romantis. Sisi dimana seseorang bisa menilai keindahan, menikmati wangi-wangian atau terpesona oleh alunan nada, adalah sisi yang buat seseorang berlabel romantis.

Dalam keterbatasan pikiranku, romantis itu sesungguhnya ada di dasar jiwa setiap orang. Tinggal bagaimana dia ditemukan dan diperlakukan. Tak beda dengan pemarah, cengeng dan humor. Ketika bagian-bagian itu tersentuh oleh keadaan di luar dirinya, dia akan menampakkan diri, menunjukkan eksistensinya dari dalam pikiran dan tubuh manusia. Itu adalah respon alami dari perasaan dan simbol-simbol batin yang terpanggil oleh luapan emosi.

Ah, teori. Itu teoriku. Sesungguhnya aku tak benar-benar yakin dengan pikiranku. Tapi inilah jawaban yang dapat aku temukan dari penilaian tentang romantis itu.

Karibku, jangan berhenti menilaiku. Karena mungkin inilah yang ingin aku dapatkan dari apa yang ada di pikiranku.

Terima kasih, Rib...

Tentangmu

Lelah kuterima usai hiasi hari bersamamu
Penat tak kuasa buatku terpejam
Hanya sepi hampa prasangka yang kutemu
Bebaniku hingga jiwaku tenggelam

Keindahanmu masih kunantikan
Di setiap detik kerinduan yang kudendang
Harap pada jiwamu butuh dekapan
Ajakku berlari tinggalkan ruang

Tak kuasa lagi kutahan beban
Hempaskanmu dalam penantian
Karena sesungguhnya aku tak mampu
Meraihmu dan semua tentangmu

Wednesday, April 2, 2008

Orang Tua Berambut Putih

Orang tua rambut pendek ubanan itu memandangku. Dari jauh rambutnya berwarna putih seperti kapas dari pohon Kapuk. Sorot matanya tajam menembus tatapanku yang memperhatikannya sejak aku keluar dari sesaknya pintu metromini.

"Monyet, liat-liat dong kalo turun!"

Uh, tak sengaja aku menubruk seorang tentara yang motornya melaju di trotoar. Aku mengumpat dalam hati. Dia yang salah dia yang marah. Tapi Siapa yang berani sama tentara?

"Maaf Pak," jawabku sambil ngeloyor. Meninggalkan tentara yang tetap melaju di trotoar dengan klakson keras dan mengagetkan orang-orang yang menghalangi jalannya.

Aku masih memikirkan orang tua berambut putih itu. Berkali-kali aku bertemu dengannya. Setiap aku turun dari angkutan umum, kali pertama yang kulihat adalah orang tua itu. Pakaian yang dia kenakan selalu sama denganku. Bahkan, dia membawa ransel yang juga sama dengan ransel yang menempel di punggungku. Penasaranku makin meninggi.

Hari ini aku ingin menemuinya. Aku sudah siapkan skenario untuk bertanya kepadanya. Tentang siapa orang tua itu sebenarnya, dimana dia tinggal dan kenapa memperhatikanku seperti itu. Kenapa dia menghilang begitu aku turun dari angkutan umum? Orang tua yang aneh.

Aku celingukan di belakang halte tempatku biasa turun. Sialan, kemana perginya orang tua itu? Aku mengumpat dalam hati. Biasanya dia menyambutku dengan tatapan tajam dari tempatku berdiri sekarang.  Tapi kemana dia? Aku hampir putus asa ketika tanpa sengaja kulihat sepasang mata tajam memperhatikanku agak jauh dari tempatku berdiri. Itu dia!, teriakku dalam hati.

"Kek!," aku berlari sambil melambaikan tangan ke arah orang tua itu. Tak aku hiraukan orang-orang yang melihatku sepagi itu lari bagai kesetanan.

Aku masih ngos-ngosan mengatur nafas yang hampir putus saat akhirnya kudapati kakek itu berdiri tepat di depanku. Dia juga ngos-ngosan dibarengi batuk-batuk kering.

“Kek, kenapa Kakek lari?” tanyaku sambil tetap mengatur nafas.

“Kenapa kamu mengejarku?” tangkis orang tua itu menimpali pertanyaanku.

“Sebenarnya kakek ini siapa, kenapa setiap hari aku selalu melihat kakek memperhatikanku di halte itu?”

“Aku ini kamu!” Jawabnya ketus.

Aku jadi curiga, jangan-jangan orang tua di hadapanku ini tidak waras. Ingin sebenarnya segera meninggalkannya dan melanjutkan perjalananku ke kantor. Tapi sudah terlanjur menemuinya, aku harus tuntas menghabisi rasa penasaranku.

“Kakek tinggal dimana?”

“Aku tinggal di sini,” katanya sambil telunjuknya menyentuh pelipis kananku.

“Aku ini kamu. Aku tinggal di pikiranmu. Aku adalah keadaan yang kamu sisakan selagi kamu muda. Aku adalah kesedihan dan keputusasaan yang kamu terima dari semua ulah yang kamu lakukan sekarang. Aku adalah semua pikiran burukmu tentang masa depanmu. Aku adalah kekosongan jiwamu saat kamu bisa mengisinya di waktu sekarang. Aku adalah rentanya cara kamu menikmati semua kebaikan yang diberikan Tuhan kepadamu. Aku adalah kamu!,” lanjutnya.

Aku terpana mendengar jawabannya. Sulit rasanya menerima jawaban orang tua berambut putih itu. Jangan-jangan orang tua berambut putih di hadapanku ini memang orang gila. Seorang kakek yang tinggal sendirian di Ibukota. Seorang kakek yang ditinggal pergi istri, anak dan cucu-cucunya.

Aku kaget ketika tiba-tiba sebuah tepukan pelan bersarang di pundak kananku.

“Maaf Mas, kacanya mau dibersihkan dulu,” seorang pegawai restoran cepat saji sudah berdiri di sebelahku. Tangannya membawa ember berisi air sabun dan lap kaca.

Kesal. Kulangkahkan kakiku meninggalkan tempat itu menuju kantorku. Samar-samar kulihat orang tua berambut putih itu masih menatapku tajam. Semakin lama orang tua itu semakin menghilang bersama air sabun yang disemprotkan pegawai restoran cepat saji tu.

16.15 - 17.15

Aku Butuh Ruang

Aku gelisah ketika tak aku temukan juga tempat untuk menuangkan pikiranku beberapa hari ini. Suntuk. Kalau saja aku mempunyai kekuatan menorehkannya di atas kulitku, akan kulakukan. Tapi tak bisa. Aku hanya akan rasakan sakit saat jariku menggurat kulitku yang kering keriput.

Aku butuh ruang. Aku butuh tempat dimana orang-orang yang tak kukehendaki tak bisa menjamahku. Agar aku bisa merasakan rasa yang sungguh-sungguh hanya aku inginkan. Agar aku bisa mengeluarkan rasa yang sungguh-sungguh harus aku keluarkan karena menyesaki ruang dadaku. Tapi dimana? Tak aku temukan sejengkalpun ruang di kiri kanan tubuhku. Semua terhimpit.

Kegelisahan ini mempermainkanku. Meninju-ninju ulu hatiku. Seolah berharap pada sisi jiwaku yang lain untuk segera temukan obat anti gelisah yang bisa didapatkan dengan mudah. Tapi dimana? Di bagian tubuh sebelah mana? Tak satupun yang tahu. Apalagi aku!

Sepertinya aku harus pejamkan mata dan biarkan nadiku yang temukan ketenangan untuk meredam kegelisahanku ini. Ketenangan yang mungkin saja harus aku temukan dari tempat yang jauh di luar tubuh dan pikiranku. Tempat yang tidak terjamah oleh alam sadarku.

Gelisah, jangan hinggapi aku...