Saturday, January 31, 2009

Sajadah

Sholat Jumat kemarin aku kebagian duduk di luar pintu masjid, tepatnya di serambi masjid berlantai marmer merah tua. Shaf di dalam masjid terlihat padat tetapi tidak begitu rapat. Di sana-sini sebenarnya masih ada jeda, tapi aku enggan mengisinya. Aku menunggu sampai shalat dimulai dan para ma'mum berdiri sambil beringsut merapatkan shaf.

Sampai di tengah kothbah aku masih tepekur di depan pintu. Menjadi saksi belasan ma'mum yang memasuki masjid dari pintu di sebelahku. Sesaat aku beringsut dengan kesemutan yang aku rasakan di kaki kananku. Tapi tak begitu mengganggu.

Masjid semakin penuh. Niatku untuk khusyuk mendengarkan khotbah Jumat mulai bercabang. Kekhawatiran tidak kebagian tempat di dalam masjid yang bersajadah empuk itu mulai menggangguku. Aku tidak membawa sajadah yang bisa aku gelar untuk menutupi bekas-bekas kaki basah, debu, serta sisa pasir lembut dari kaki-kaki yang lalu lalang di depanku. Buatku, minimal bagian lantai dimana mukaku menyentuh bumi saat bersujud harus bersih dan kering.

Aku curiga pada diriku sendiri. Bagaimana di tempat sesuci masjid --tempat dimana semua hirukpikuk dunia dan keakuan harusnya ditanggalkan-- aku masih memikirkan tentang egoku hanya karena sajadah? Bukankah niat sholat jumat jauh lebih berharga daripada memikirkan sajadah? Tapi bukankah kenyamanan menjaga kebersihan saat melakukan sholat supaya lebih khusyu' juga penting?

Ah, dimana sajadahku?

Thursday, January 29, 2009

Richie Sambora - The Answer

The lightning flashed as angels
Rode fiery chargers through the clouds
That answer scared me into tears
And all the grownups laughed out loud

Now the years roll on, tired voices have all gone
Now they ride their thunder through the heavens

There's a world in every drop of rain
Embracing oceans sweep us home again
Come along with me, come along with me
Seek the truth, you shall not find another lie

They say for every living thing
There's a guide up in the sky
That helps you pass from world to world
So you never really die

Then with scythe and cloak
Death comes waltzing to your side
As the visions pass you ask
If there was meaning to your life
As you strain to hear the answer, spirits sing, and devils fiddle
As he bends to whisper in your hear, he leaves you one more riddle

Oh, the answers lie beyond the pain
All the questions in our minds, we surely ask in vain
Come along with me, come along with me
Seek the truth, and you shall find another life

And now my life is like a storm
Growing stronger every day
Like the unrelenting wind
That comes to blow our lives away
So I live each day like I know it's my last
If there is no future there must be no past

Now I know the answers never meant a thing
And with each instant that I breathe
I feel the joy that life can bring
Come along with me, come along with me
Seek the truth, you shall not find another lie
Come along with me, come along with me
Seek the truth, and you will find another life

Saturday, January 24, 2009

Pelajaran Hari Ini

Hari ini aku belajar dari banyak orang; Tentang waktu, tentang tim, tentang sales, tentang pertemanan, tentang nasionalisme, tentang branding, tentang muslihat, tentang ambisi, tentang intrik, tentang menipu, tentang harapan, tentang kebutuhan, tentang anak, tentang pendidikan, tentang positioning, tentang sekolah, tentang marketing, tentang materialistis, tentang mata duitan, tentang orang tua, tentang kasih sayang, tentang deadline, tentang tehnologi dan tentang sakit hati...

Belajarlah selagi bisa...

Thursday, January 22, 2009

Tiket KA Taksaka

"Mas, tadi katanya tiket Taksaka cuma 230 ribu, kok aku beli jadi 330 ribu?" Suara telpon di seberang tampak berat, tanda kecewa.

"Wah, aku nggak tau Men, biasanya harganya Rp 230 ribu,"  belaku dengan tenang.

Asli, aku jadi merasa tidak enak pada temanku yang  rencananya Sabtu, 24 Januari ini hendak ke Jogja. Biasanya memang harga tiket Kereta Api (KA) Eksekutif Taksaka jurusan Gambir - Jogjakarta di sabtu-minggu senilai 230 ribu.

Sambil memompa otakku yang mulai pikun, aku melihat-lihat kalender di meja dan di dinding. Ada 2 tanggal merah. Di kalender meja, tanggal merah libur Tahun Baru Imlek 2560 berada di angka 27, sedangkan di kalender dinding, tanggal merah ada di angka 26 (Gak kompak!). Untuk menghindari Harpitnas (Hari Kejepit Nasional) jika tanggal merah tetap di pancang di tanggal 27, maka Pemerintah menggeser tanggal merah itu ke hari Senin 26 Januari. Jadi kesimpulannya, harga tiket KA Eksekutif akhir minggu ini menggunakan Harga Batas Atas karena ada hari Libur Nasional.

"Oh iya Men, aku tahu, kenapa harganya jadi segitu. Karena hari Senin kan Libur Nasional tuh, jadi harga tiketnya dipatok di Harga Batas Atas. Kalau akhir minggu biasa sih mungkin harganya pakai standar Harga Batas Bawah alias 230 ribu," kataku sumringah. Lega. Seperti orang cerdas yang baru saja menemukan alasan mutakhir dan diplomatis berdasarkan analisis ilmiah. Paling tidak, ini bisa membuatku tidak terlihat begitu bodoh. Apalagi setelah itu aku jelaskan tentang kalender-kalender itu.

"Mas, soal hari libur Imlek itu aku juga tau. Justu yang aku tanyakan kenapa harus naik harga tiketnya? Apa urusannya dengan hari libur? Itu kan layanan publik 'milik' pemerintah juga, harusnya mereka bisa kontrol. Harga naik itu kan harus disertai dengan layanan yang lebih baik juga. Aku bolak-balik naik Taksaka, gak ada lebih baik sejak bertahun-tahun lalu," Temenku malah ngomong panjang lebar dan keras. Walaupun dia bicara ditelpon, aku bisa bayangkan ekspresinya saat itu.

"Tau gak Mas, layanannya sekarang malah makin turun. Dulu naik Taksaka dapet makan nasi. Sekarang Boro-boro Mas! Cuma dapat roti gopekan 2 biji sama air mineral segelas! Ditambah teh manis anget seteguk sebelum sampai stasiun tujuan. Belum lagi TV yang cuma berada di ujung gerbong, jadi yang duduk di tengah atau belakang gak bakal bisa nonton TV," sambungnya berapi-api.

"Mungkin alokasi dananya sedang dikonsentrasikan ke prasarana pendukungnya; Pengadaan rel ganda, renovasi stasiun, dan sebagainya," kataku menenangkannya.

"Ah, alasan itu Mas, alasan! Ok, kalo memang alokasi dana ke sana, tapi kan minimal ada perubahan di layanan, bukan di barang. Misalnya tepat waktu, keamanan terjamin. Itu tidak mengurangi dana. Itu syarat dari sebuah layanan jasa. Lha wong aku 20 tahun lebih naik KA kok sekalipun belum pernah tepat waktu. Kalau selisih 30 menit aku maklum. Lha telat kok rata-rata 3 jam. Mending "waktu sampai" tidak dicantumkan di tiket."

Mm, bener juga sih kata temanku itu.  Tidak hanya KA Taksaka yang justru mengalami pemunduran layanan itu, di kelas KA Bisnis apalagi. Sampai banyak yang bilang, KA Ekonomi yang tujuan akhirnya Stasiun Tugu namanya KA Bisnis (Di Jogja, KA Ekonomi berakhir di stasiun Lempuyangan). Karena KA Bisnis tidak ada bedanya dengan KA Ekonomi. Pedagang, pengamen dan tukang bersih-bersih ilegal berada di situ. Tidak bermaksud menyalahkan pedagang, pengamen atau tukang bersih-bersih ilegal itu, tapi pada sistem yang terlanjur kacau dan membuat penumpang merasa tidak dihargai.

"Mas, pegawai-pegawainya juga...."

Tuuuttt... Tiba-tiba telpon terputus. Saat aku kebingungan, sebuah sms aku terima: Mas, maaf, pulsaku habis. Sampai ketemu di Jogja!

Wednesday, January 21, 2009

Idealisme Kontemporer

Sebentar lagi aku meninggalkan kursi ini. Bertarung meneruskan idealisme kontemporer yang ada di kepala dan hati kepada idealisme orang lain. Apa yang aku harapkan hanyalah segera menyudahinya dan kembali kepada ruangan ini; Membaca kata-kata berkata tanpa jeda.

Idealisme kontemporer? Hayahhh, istilah apa ini. Aku asal comot dari perpustakaan di kepalaku. Mungkin cocok dengan apa yang aku maksud. Ini adalah idealisme masa kini. Idealisme yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Bukan lagi idealisme murni yang muncul dari hati. Tapi jangan salah, idealisme murniku masih aku simpan di satu ruang dengan kunci yang aku pegang. Jadi sewaktu-waktu bisa aku ambil dan aku gunakan sebagaimana mestinya. Aku tidak membuangnya.

Soal idealisme ini, mungkin aku juga tak begitu mengerti. Bukan tak mengerti sama sekali, tapi karena pemahaman atas "ideal" sendiri pasti berbeda tiap orang. Dan beradu idealisme adalah hal menyesakkan, karena ujung-ujungnya ego yang menonjol. Apakah artinya ketika idealisme aku perjuangkan otomatis ego berada di belakangku? Hmmm...bisa jadi!

Sebagai manusia biasa yang berkomunitas, sekali lagi, idealisme yang aku pakai adalah idealisme kontemporer. Ini berguna sekali untuk tetap melangsungkan proses hidup, melanjutkan proses bermasyarakat dan sebagainya. Idealisme murni tetap ada, ego tetap ada, hanya bagaimana mengaturnya supaya keluar dalam tataran proporsional dan bermartabat.

Monday, January 19, 2009

1001 Cara

Aku lelah. Sepertinya masa-masa kebersamaan denganmu hanya menyisa semu. Aku tak miliki lagi apa yang semula aku miliki. Seperti mutiara terangkai yang terputus talinya; mereka berjatuhan dan berserakan tinggalkan bunyi-bunyi miris yang melecut kesunyian.

Berkali-kali aku coba meraih sekelebat sempat yang aku miliki. Atau bahkah sesekali aku rendahkan diri untuk sekedar mengajakmu menari pada puisi-puisi tanpa nurani. Tapi tak berdaya. Aku --dan mungkin engkau-- hanya bisa saling menista dan membimbing prasangka pada ujung-ujung kepedihan selamanya. Kita seperi berdiri pada satu garis yang sama di dua dunia. Tak mengena dan tak berguna.

Dan tetap saja menyiksa meski telah 1001 cara...

Saturday, January 17, 2009

Uang Lima Ribuan

Angin berasa agak laju siang itu. Apalagi di tempat yang agak tinggi seperti di jembatan Trans Jakarta. Niatku adalah membelah kemacetan Jakarta di sore hari menumpang raja jalanan paling bongsor: Trans Jakarta (Orang biasa menyebutnya Busway). Jarak yang akan aku tempuh sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi ini Jakarta Jek, jarak tidak selalu berbanding lurus dengan waktu tempuh.

Langkah santai kuayun menuju loket sambil berusaha mengeluarkan uang yang aku taruh di saku kiri belakang celana jeansku (aku tidak terbiasa menaruh uang di dompet). Kudapati tujuh lembar uang ribuan, satu sepuluh ribuan dan dua lembar lima ribuan, ketika tiba-tiba...

"Wussss...."

Uang kertasku berhamburan tertiup angin. Sigap dan cekatan kuraih satu demi satu uang-uang itu. Bak pangeran kodok kedua kakiku sibuk mengincar uang kertas itu supaya tak berterbangan ke bawah jembatan. Tak peduli petugas halte Trans Jakarta yang senyum-senyum melihatku. Berhasil, terseok-seok kupungut satu demi satu uang kertas itu. Lalu kurapikan sambil kuhitung.

"Satu, Dua, Tiga...mmm...mmm...kurang satu lembar lima ribuan!!!"

Mataku melotot, mulutku manyun memeriksa sepanjang jalur jembatan. Sampai akhirnya aku melongok ke bawah jembatan. Selembar lima ribuanku yang masih agak baru tergolek di jalur Trans Jakarta. Sesekali uang itu berpindah tempat karena tertiup angin kendaraan-kendaraan besar yang lewat. Aku bingung, ingin rasanya melompati pagar dan memungut uang lima ribuan itu. Sayang kan kalo hilang. Tapi urung, karena masih agak tinggi dan dijamin ribet sumrepet kesrimpet kalau kupaksa mengambil kembali uang itu.

Mataku nanar melihat uang itu dipermainkan angin. Sayang sekali, lebih baik uang itu aku sumbangkan ke Masjid atau kutitipkan untuk membantu korban perang di Palestina, atau kuberikan kepada siapapun yang memerlukan. Andai saja uang itu masih ada...

Gubrak! Gubrak! Tuing! Tuing!

Tiba-tiba otak sintingku digilas sisi akal sehatku dengan sadis. Katanya...

"Woiiiii! Kamu gak bisa berpikir waras ya Die?, " Asli aku kaget setengah mati. Bagian jiwaku yang sudah lama aku ikat di penjara alam sadarku langsung muncul dan mencak-mencak di mukaku.

"Sekalinya uangmu terbang dan menghilang, kamu menyesal dan berpikir untuk memberikannya kepada orang yang membutuhkan. Kenapa tidak dari tadi? Kenapa tidak kau berikan ketika uangmu belum hilang? Kenapa tidak kau ikhlaskan sebelum angin menerbangkannya?"

Glek! aku malu...

"Die, kamu sungguh keterlaluan. Kenapa harus kehilangan dulu untuk ingatkanmu pada orang yang membutuhkanmu? Apakah kamu harus kehilangan nyawamu dahulu untuk sadari bahwa ada kebaikan yang bisa kau lakukan selagi nyawamu masih di pundakmu?"

Aku terdiam. Sungguh tak mampu aku melawan kata-katanya yang begitu lugas dan nylekit. Aku masih rasakan angin agak kencang menampar wajahku ketika...

"Plekkk!"

Selembar kertas menutup hidung dan pipiku. Uang lima ribuanku yang tadi tertiup angin kini dengan cara ajaib kembali ke tanganku. Ah, alangkah senang hatiku. Tapi aku sudah bertekad memberikan lima ribuan ini kepada orang yang membutuhkan, kepada pengemis kecil yang tadi kulihat di ujung jembatan. Tapi aku tidak menemukannya. Jembatan telah sepi dan gelap. Tak satupun orang terlihat di jembatan maupun halte. Kiri-kananku lengang, hampir tak ada kendaraan melintas.

Thursday, January 15, 2009

Monyet

Beberapa hari ini aku memikirkan tentang sebuah pertalian. Pertalian antara sekumpulan monyet yang dalam banyak waktu selalu dipertemukan pada pohon yang sama. Karakter yang berbeda-beda justru menjadikan satu pohon itu tempat yang sangat menyenangkan: akrab dan guyup. Bertahun-tahun pohon itu menjadi saksi datang dan perginya monyet-monyet di dahannya.

Dalam beberapa bulan ini monyet-monyet baru datang menempati dahan-dahan yang ditinggalkan oleh monyet-monyet tua. Rata-rata mereka berasal dari daerah lain yang ingin perpindah ke pohon besar dan berbuah lebat ini. Mungkin hanya di dunia nyata, pendatang baru menjadi minoritas dan tertindas secara mental. Secuilpun intimidasi tidak berlaku di dunia monyet.

Semua penghuni baru disambut dengan gembira. Bahkan tak segan langsung dilibatkan pada acara-acara menyenangkan seperti berburu kutu! Biasanya acara berburu kutu hanya melibatkan keluarga, paling banter hanya melibatkan monyet-monyet yang sudah tahunan menempati suatu pohon. Mungkin itu yang membuat sekumpulan monyet di pohon lain bertanya-tanya; Apakah monyet bangkotan tak lagi punya wibawa? Apakah monyet pendahulu begitu kekurangan teman? Atau jangan-jangan beberapa monyet tua di pohon itu tergiur pada seksualitas belaka, pikir mereka.

Sekumpulan monyet tua rupanya mengerti ada pikiran buruk melintasi para monyet di pohon-ponon sekelilingnya. Mereka itu menyadari bahwa sedikit demi sedikit para monyet di pohon sekelilingya perlahan meninggalkannya. Entah karena sakit hati disebabkan seribu alasan dan prasangka, atau memang enggan menemani monyet-monyet tua beranak pinak hingga ajal.

Pohon semakin tinggi, akarnya semakin kuat melesak ke dalam bumi. Buah dan dahan tumbuh seperti jalinan tangan yang saling menopang. Cinta dan kasih sayang tak pernah meninggalkan pohon yang dialiri ketulusan dan timbunan kasih sayang itu. Monyet-monyet itu selalu gembira, karena cinta telah kalahkan ego dan prasangka yang tak berguna. Pertalian yang sungguh indah. Pertalian monyet, monyet, monyet dan pohon...

Tuesday, January 13, 2009

Berbagi dengan Bunga

Pikiranku mengembara entah kemana. Kebahagiaan atas kekayaan perasaanku malam itu membuatku tak mampu meredam keharuan. Bunga-bunga indah di sekelilingku tebarkan wangi surga dan bisikkanku satu semangat berbahagia.


Bayangkan, dalam satu malam aku didaulat menjadi raja pada sekumpulan bunga yang tengah merekah. Alangkah tersanjungnya. Setiap kata dan setiap cerita seperti dengungan sayap lebah yang bergerak memberi kekuasaan berbagi romansa.


Terima kasih bungaku, terima kasih atas keindahan yang engkau berikan. Terima kasih atas wangi yang selalu sedapi pikiranku.


~ Carita, 10 Januari 2009

Monday, January 12, 2009

Bon Jovi - Thank You for Loving Me

It's hard for me to say the things
I want to say sometimes
There's no one here but you and me
And that broken old street light
Lock the doors
We'll leave the world outside
All I've got to give to you
Are these five words when I

Reff: 

Thank you for loving me
For being my eyes
When I couldn't see
For parting my lips
When I couldn't breathe
Thank you for loving me
Thank you for loving me

I never knew I had a dream
Until that dream was you
When I look into your eyes
The sky's a different blue
Cross my heart
I wear no disguise
If I tried, you'd make believe
That you believed my lies

Back to Reff
You pick me up when I fall down
You ring the bell before they count me out
If I was drowning you would part the sea
And risk your own life to rescue me

Lock the doors
We'll leave the world outside
All I've got to give to you
Are these five words when I

When I couldn't fly
Oh, you gave me wings
You parted my lips
When I couldn't breathe
Thank you for loving me
Thank you for loving me
Thank you for loving me
Oh, for loving me...

Wednesday, January 7, 2009

Kisah Tentang Kursi

Aku ingin menulis sesuatu di blog ini dengan lebih ringan. Aku ingin menulis Kisah Tentang Kursi. Tidak usah berat-berat memikirkannya, ini bukan kursi caleg. Ini benar-benar kursi. Sebuah kursi merah hati berkaki lima dengan ujung-ujung beroda. Kursi empuk dengan sandaran nyaman tanpa penahan lengan. 'Kursi staff' kata teman-temanku.

Aku beruntung mendapat jatah kursi ini. Karena selain warna merah hati kesukaanku, plastik pembungkus di sandarannya masih rapi. Tapi jangan tanya plastik di bagian bawah. Selain sudah sobek gak karuan, plastik di bagian pantat ini sudah mlintir kesana-kemari. Ini karena frekuensi pantatku lebih sering nangkring di situ daripada di sandarannya. Hehehe, ya iyalah, mana mungkin aku duduk di sandarannya.

Anehnya, hari ini kursi merah yang sudah hampir 2 tahun tak mengeluh kutempeli pantatku raib. Padahal aku hanya meninggalkannya sebentar ke dapur menyeduh kopi. Celingukan kucari ke kanan-kiri depan belakang mejaku. Nihil. Kursi sebesar itu bisa raib hanya dalam hitungan menit. Sementara tak satupun dari orang-orang di sekelilingku tahu kemana si kursi itu pergi. Pertanda apa ini...

Bermain Persepsi

Mempermainkan persepsi sungguh menyenangkan. Dan ini aku alami dalam beberapa hari ini. Maka jangan salahkan aku jika kemudian ada persepsi yang --tak tanggung-tanggung-- membuatku justru makin terhanyut untuk memainkannya. Di awal, sebenarnya kenakalan persepsiku muncul bukan karena sengaja, tapi karena rasa sensitifku yang teramat sangat dicampur dengan sikapku yang terlalu ragu-ragu untuk memutuskan sesuatu.

Persepsiku selalu sisakan bias yang membuatku semakin berada di nominasi laki-laki paling ragu-ragu sedunia. Bahkan aku sempat menyandang gelar laki-laki paling plin-plan seasrama putri di Indonesia. Tidak apa-apa, plin-plan bukan 'muka dua'. Lagipula, plin-planku berasal dari keragu-raguanku, dan itu sifatku. Lebih jauh, keragu-raguanku adalah bentuk dari banyaknya pertimbangan di kepalaku. Itu sikap hati-hati versi nyleneh hehehe...

Di kepalaku, apapun bisa menjadi apapun. Persepsi yang ada di kepalaku bisa menyublim menjadi prasangka. Prasangka inilah yang lahirkan penilaian-penilaian terhadap sesuatu. Penilaian yang notabene menjadi sumber pilihanku. Pilihan yang aku pilih dengan ragu-ragu. Pilihan yang muncul karena permainan persepsiku yang njlimet.

Mungkin kebiasaan bermain-main dengan persepsi jadikan aku lebih hati hati. Yang artinya, aku harus lebih cerdas berprasangka, harus lebih jeli menilai dan harus makin lihai kerucutkan topik. Karena aku manusia; Berpikir itu manusiawi, seperti juga mempermainkan persepsi.

Monday, January 5, 2009

Sang Maharaja

"Ayah kerja dulu ya Sayang. Kakak ama Dek Keyzha, nanti mau diajak ke pasar malam lho sama Pakde," rayuku sambil membelai rambut kriting sepinggang anak perempuanku yang merajuk di pelukanku.

"Gak mau, pokoknya Kakak ikut. Kalau kerja pasti ayah lama. Kakak maunya sama ayah," isaknya.

Alangkah maharajanya uang. Kadang uang menjadi setan bertanduk yang menciptakan kesedihan tanpa daya. Dan satu anak sumber inspirasiku menangis dibuatnya. Aku dan seluruh egoku tak kenal waktu memburu uang. Sekalipun demi anak-anakku dan keluargaku, tetap saja ini menjadi bentuk penghambaan atas materi. Ada susu yang harus terbeli, ada sekolah yang harus terbayar, ada proses hidup yang harus berjalan.

Sayangnya, pada proses kerja yang aku lakukan, uang selalu berbanding terbalik dengan waktu kebersamaanku dalam keluarga. Tiada batas kapan pencapaian materi itu akan terhenti. Apakah artinya tiada batas pula kapan waktu untukku dan keluargaku bersatu?

Wahai uang sang maharaja, sebenarnya berlebihan sebutan itu buatmu. Kalau engkau sadari, aku tak menghamba padamu. Engkau hanyalah sarana untuk wujudkan keindahan harapanku pada keluargaku. Utamanya pada anak-anakku yang masih doyan susu. Mereka tak harus tau bagaimana aku mencarimu, karena itu berupah pada wibawa dan kecintaan mereka kepadaku.

"Tapi bener ya ayah pulang sore, kakak mau sama ayah,"

"Iya Sayang, kalau kerjaan ayah cepat selesai, ayah pasti cepet pulang," kataku sambil mencium keningnya dan berlalu. Ada perasaan sedih yang mendalam meninggalkannya dengan mata masih sembab.

Jujur, selama ini merekalah yang menenangkan hatiku. Mereka menjadi batasan kesabaran yang luar biasa untuk tidak memaki atau menonjok atasan, klien atau partnerku saat mereka sudah melewati batas toleransi ketololan yang aku berikan. Merekalah akal sehatku.

Jadi semua tak semata-mata karena sang maharaja uang...

----

Ada saatnya kita merasa dianggap benar-benar orang tolol, diremehkan --dan hal merendahkan lainnya-- oleh orang lain. Pernah alami itu? Itu yang dianggap sebagai batasan emosi penulis cerita ini. Dalam cerpen ini, memang 80% fiksi sementara 120%-nya adalah ungkapan perasaan penulis. Selebihnya adalah kompilasi seribu pemikiran.

Saturday, January 3, 2009

Ngobrol Dengan Tuhan

Tuhan apa khabar?

Tuhan, aku sedang pusing tujuh keliling. Tentu Tuhan Sang Maha Tahu mengerti kenapa aku pusing. Begitulah. Sepertinya aku selalu berada di dalam kemelut yang tak kunjung terurai. Hilang satu tumbuh seribu. Apakah doaku kalah dengan doa-doa orang yang gembira melihat tebalnya kerutan di keningku?

Tuhan, aku tau semua orang bingung dengan tingkahku, tapi memang begitulah adanya. Aku orang yang agak susah membiarkan apa yang ada dipikiranku tak meluncur ke dalam wajahku ini. Orang bisa baca apa yang berkecamuk di dalam kepalaku hanya dengan melihat wajahku. Karena itulah Tuhan, di Maha Kuasa-Mu bantulah aku menguasai kecamuk itu. Ok, ok, ok, mungkin aku jarang meminta, tak pernah lagi berbicara denganmu selain di hari Jumat. Tapi bukan berarti aku tak mengakui ke-Esa-anMu.

Tuhan, beri aku kekuatan-Mu untuk lewati ini...

Terima kasih Tuhan

Tiba-Tiba Tiga

Andai dini hari ini mataku mau menemani pikiranku mengeja kata, mungkin banyak sekali kata-kata berkata. Tapi --sungguh terlalu-- kelelahan dan faktor U (usia) sangat berpengaruh pada stamina di tubuh renta ini. Jadi aku hanya akan selesaikan tulisan ini lalu tidur.

Kalau ada yang bilang kerja membuat seseorang jadi lebih pintar, aku setuju. Karena kerja itu berpikir, melatih secara kontinyu syaraf-syaraf cerdas manusia untuk selalu tune in. Kerja yang aku maksud nggak melulu di kantor. Aktifitas fisik dan pikiran untuk menciptakan hasil sudah aku anggap sebagai 'kerja'. Maka liburan panjang ini membuat banyak orang holiday lag (satu komplotan dengan jet lag, bajaj lag, ojek lag, angkot lag, dsb). Masih terbawa suasana libur. Jadi jangan heran kalo password komputer sendiri bisa lupa...

Konyolnya, bukan hanya aku yang lupa bahwa kemarin adalah hari Jumat. Tapi empat orang temanku juga lupa hari. Kita malah asyik main game, nonton film dan absen mandi pagi. Baru sadar bahwa kemarin adalah hari Jumat empat menit menjelang Sholat Jumat berakhir. Duh malunya...

Dan ini baru saja kebingungan mencari kalender 2009. Pengen tahu ngantor lagi tanggal berapa di hari senin. Berhubung tak satupun kalender 2009 ada di mejaku, jadi aku manfaatkan kalender di komputerku. Jreeenggg!!! Kaget bukan kepalang. Hari ini sudah tanggal 3 Januari 2009?

Ya ampun, berarti tahun baru 2010 sudah dekat, tinggal 363 hari lagi? Sepertinya baru kemarin lewati hujan kembang api warna-warni di angka Satu. Lalu terlelap seharian di angka 2 karena lelah kehabisan nafas meniup terompet. Dan sekarang? Tiba-tiba tiga!

Secepat itukah angka berganti? Apa yang sudah aku berikan untuk kebaikan dalam tiga hari? Aku sungguh tak mengerti. Sungguh terlalu!

Thursday, January 1, 2009

Dikei Ati Ngrogoh Rempelo

Diberi hati minta jantung. Ungkapan ini sepertinya cocok untuk menuliskan kondisi ketamakan seseorang yang tidak ada batasnya. Dalam lingkup sosial keadaan Dikei ati ngrogoh rempelo sering terjadi. Dimana seseorang merasa batasan-batasan pribadi, kesopanan, kehormatan, kepercayaan atau etika dilanggar orang lain dengan alasan kedekatan. Ini yang menyulitkan: Kedekatan! Dikei ati ngrogoh rempelo tak melulu soal materi.

Dalam hubungan sosial seperti pertemanan, "dekat" itu relatif. Perasaan dekat itu tolok ukurnya dari hati. Karena dari sanalah kontrol untuk memahami batasan-batasan tadi otomatis terwujud. Tidak perlu ilmu tinggi untuk pahami itu. Buktinya, dalam falsafah Jawa kuno yang notabene tingkat ilmu akademiknya biasa-biasa saja, ungkapan itu sudah dikenal untuk memberi ajaran moral bermasyarakat.

Di jaman modern majemuk multikultural ini pun sebenarnya ungkapan itu tetap berlaku. Hanya mungkin tidak lagi terungkap secara nyata dan gamblang untuk men-judge proses hubungan sosial yang negatif. Kalau saja ada waktu, cobalah diingat berapa kali kita merasa dilanggar batasan-batasan pribadi, kesopanan, kehormatan, kepercayaan atau etika justru oleh orang yang kita anggap sebagai sahabat.

Dikubur Hidup-Hidup

Belum juga mati aku telah dikubur
Sembari dilucuti dan ditanggalkan
Sampai nanti dilupakan

Buah Pikiranku

Banyak sahabatku bertanya kepadaku, kenapa aku sering menuliskan sesuatiu yang aneh di blog. Misalnya tulisan yang teramat pendek, puisi angka dan sebagainya.

Mulanya aku bingung menjawab. Bahkan aku tidak siap mendapat pertanyaan seperti itu. Karena buatku, saat tulisan itu keluar dari pikiranku, ya karena tulisan itu memang berada di urutan paling depan pikiranku yang ingin berhamburan. Atau jangan-jangan memang aku termasuk orang aneh ya, memanjakan kata-kata berkata tanpa sekedip-pun memikirkan asalnya?

Kebiasaan tidak menyaring kata dan mengeluarkan pikiran dalam tulisan seperti inilah yang sering menimbulkan anggapan beberapa temanku bahwa aku sudah mendekati ketidaksadaran mental alias sinting. Padahal sejujurnya setiap kata yang terlanjur keluar dari pikiranku, mau tidak mau, disadari atau tidak sudah melewati lorong pemikiran di kepalaku. Jadi bullshit kalau ada yang bilang aku tidak memikirkannya sebelum berterbangan.

Kata-kata adalah buah pikiran yang terucap lewat organ bicara kita. Dan berhubung blog ini dalam media tulis, maka kata-kata yang sejatinya menjadi bahasa lisan terurai menjadi bahasa tulis. Para sahabatku mungkin tak bisa pahami 100% makna tulisan yang aku buat, tapi itu resiko. Dan aku tidak terlalu memikirkannya.

Sekali lagi, itulah tulisanku. Buah pikiran yang begitu matang langsung terpetik dan kubagikan kepada semua orang. Jika itu bermanfaat, alangkah senangnya aku.

Jika tidak?

Tahun Baru 2009

...dan kembang api makin buatku rindu pada anak-anakku...
Juga padamu....