Tuesday, November 11, 2008

Maureen Jatuh Cinta

Rambutnya cepak simpel ala Demi Moore di film Ghost (1990). Penampilannya boleh dibilang ‘biasa’. Tidak ada yang istimewa dari caranya berdandan. Dia tak kenal lipstik, gincu atau maskara. Alami. Alisnya asli tanpa dibentuk dengan pensil atau tato alis. Hidungnya mancung lancip. Tapi sungguh, itulah yang justru membuat setiap orang senang menatap wajahnya berlama-lama. Tak peduli laki-laki atau perempuan.

Namanya Maureen, dia adalah adik kelasku. Walaupun begitu dia cukup dekat denganku. Mungkin karena dia begitu enerjik dan ramah, mau tak mau semua orang jadi kenal dengannya. Badannya boleh dibilang kurus untuk cewek setinggi dia. Suaranya cempreng dan medok Jawa saat berbahasa Indonesia, tapi dia cuek aja. “Jawa is my country,” katanya saat orang meledek karena aliran medokisme-nya.

Sudah seminggu ini Maureen menjadi pendiam. Dia yang biasanya menyapa kanan-kiri dan bahkan iseng colek kanan kiri saat menuju kelasnya kali ini berjalan gontai melewati kerumunan teman-temannya yang terbengong-bengong melihat perubahannya. Wajahnya tidak pucat, artinya dia tidak sakit. Tapi, ah, tapi, ya ampun…

Semua terkesima melihat wajah Maureen hari ini. Walaupun alisnya masih utuh tapi bulu matanya lebih hitam dari biasanya tanda ia memolesnya dengan maskara. Pipi kiri kananya bersemu merah muda adonan gincu. Dan, mmm, bibirnya, lipstik merah muda dengan efek basah memantulkan cahaya saat benturan dengan sinar matahari pagi ini.

“Maureen, kamu sakit?” Tanyaku yang mencegatnya saat dia hampir melewati tempatku berdiri.

“Eh, hai, nggak kok, aku gak sakit,” jawabnya kelabakan.

”Tapi kamu kok….”

“Kenapa, perubahan ini? Aku ingin ganti suasana Mas. Gak apa-apa kan? Bagus gak mas? Cocok gak?” Gantian aku yang mlongo mendapat cecaran pertanyaan dari Maureen.

“Cocok. Kamu tetap cantik kok,” kataku berbohong. Padahal sejujurnya aku suka wajahnya yang alami sebelumnya. Tapi aku harus bohong supaya dia tidak kecewa. Bukankah bohong untuk kebaikan itu tidak apa-apa? (emang iya? huuu…).

Sejenak kemudian Maureen sudah menjauh dariku. Aku hanya bisa pandangi tubuhnya dari belakang sampai menghilang di dalam kelasnya.



“Dul, udah denger gosip soal Maureen?,” tanya Nyo, sohib kentalku.

“Maureen kenapa?,” aku balik bertanya dengan muka andalanku; Muka blo’on!

“Mauren udah punya pacar sekarang. Dia dah kenalin pacarnya tadi pagi ama sohib-sohibnya…”

“Woo, baguslah kalau begitu,” kataku datar. Aku tidak ambil pusing Maureen sudah punya pacar atau belum, karena sekalipun cantik, Maureen bukan cewek impianku. Aku bergegas menuju parkiran motorku di belakang gedung.

“Woi, woi, woi, lu gak nanya Maureen pacaran ama siapa?” Nyo mengejarku. Dia penasaran aku tak tertarik mendapat informasi lebih jauh tentang Maureen. Aku mengangkat alisku, tanda menunggu Nyo melanjutkan kalimatnya.

“Maureen pacaran ama Bas.”

Jederrrr!!!
Bas? Bas si manusia sejuta aroma itu? Bas yang setiap gerakannya menebarkan aroma menyiksa bagi mahluk hidup di sekitarnya? Bas yang rambutnya sudah dwiwarna dan tak bercahaya itu? Bas yang setiap makan bareng di Warteg selalu minta nambah rendang jengkol campur rentetan petai bakar itu? Bas yang keberadaannya bisa tercium dari jarak 10 meter tanpa melihat dia berdiri di sebelah mana itu? Kok Bas sih? Kok Maureen pacaran ama si Bas?

Aku tak habis pikir. Maureen, wanita secantik itu akhirnya jatuh cinta pada Bas, pemuda biasa aja yang jarang diperhitungkan cewek-cewek di dunia. Walaupun, ya, walaupun sejujurnya aku tidak ada masalah dengan Bas. Tapi Kenapa dia ya? Kenapa Maureen tidak menerima cowok lain yang jatuh bangun mengejarnya selama ini? Apa yang ditemukan Maureen dari keadaan Bas sekarang ini? Bas bukan milyarder juga. Apa sih ’sesuatu’ yang membuat Bas istimewa di mata Maureen? Jangan-jangan Bas main dukun…

Gubrak!
Tiba-tiba kepalaku sudah berada di aspal (Untung pakai helm). Aku kaget setengah mati. Seorang pedagang asongan tergeletak di depanku sambil meringis dan memaki ke arahku, tangannya mengacung-acungkan tinju. Aku lihat dagangannya berantakan. Aku melihat sekeliling, semua orang menatapku dengan kemarahan. Bahkan beberapa tukang becak memaki dan menyalahkanku sambil menuding mukaku. Aku masih bingung. Semua gara-gara Bas! Semua gara-gara Maureen!

Atau semua gara-gara aku?

9 comments:

  1. “Jawa is my country" ha ha saingan sandra Dewi booss ....po

    nunut nulis sedelok salam kenal wae mbah....

    Woo, gak tau kalau Sandra Dewi juga begitu. Yang saya tau Dewi Sandra memang pernah melewati masa kecilnya di Sleman, Yogyakarta. Thanks. Salam kenal juga Om...

    ReplyDelete
  2. :D tapi bukan maureen yang ini kan bro?? kekeke...
    nice story!

    Mmmm....ada deeehh...hihihihi....

    ReplyDelete
  3. Nih nyindir maureen neh...
    reen cepetan sini baca postingan si aldie

    Pssttt... Mauren udah comment lho...

    ReplyDelete
  4. Lilis pikir Maureen yang py blog d blogdetik. Ga taunya bukan

    Jujur sih, tiba-tiba inget Maureen adik kelasku SMP pas jaman jebot. Makanya gaya penulisannya rada-rada ABG hehehe. Ide critanya campur aduk dengan crita Maureen anti jengkol (Gpp kan Maureen80? Piss ya...).

    ReplyDelete
  5. hihihi,tau aza niey,eh thanks yah dah mampir ke blogku,salam kenal......
    jangan lupa mampir lagi yah......
    :)

    Oke Om...

    ReplyDelete
  6. kekeke, tuh kaan.. aku udah piling niy diya pasti inget yang anti jengkolnya dowang... gubbraaakk
    piss jg berader...! :D

    heheh...gapapa ya Maureen...hihihi...biar seru. Thanks.

    ReplyDelete
  7. haaayyyaaaah...
    mauren kasian amat
    pasangannya yg jengkolan mulu
    kekekke...

    Psstttt....hehehe....

    ReplyDelete
  8. ckckck Mauren aja bisa ampe makan korban pedagang+pengandara sepeda motor.. sungguh takjub saya hehe

    ReplyDelete
  9. Nabrak tukang dagang ya salah situ lah... hahahaha.. Siapa tau di balik jengkolnya si bass ada emas di hatinya..ciyeee.. Ini nama samaran ga nih? Ntar kalau maureen sama Bass baca piye? hahahaha.... Atau nyindir Mauren 80?

    Psssttt...jangan bilang-bilang mas.... (clingak-clinguk)

    ReplyDelete