Thursday, May 14, 2009

Drakula Haus Darah

Siapa bilang Indonesia bebas pungli?

Beberapa hari lalu saya bermaksud mengurus Surat Domisili Usaha di satu kota. Saya sudah berniat untuk mengikuti prosedur pengurusan surat ini dengan benar, sekaligus ingin membuktikan apakah di jaman ini birokrasi pemerintah masih 'haus darah' . Terus terang, sudah tertanam di kepala saya sejak dulu bahwa birokrasi pemerintah --baik itu tingkat kampung maupun kota besar-- adalah 'birokrasi drakula'. Birokrasi yang haus uang pelicin, uang rokok, alias uang administrasi fiktif.

Dulu, jangan harap kita bisa membuat ktp tanpa mengeluarkan uang ekstra untuk menyumpal birokrasi pemerintah terkecil ini. Padahal membuat ktp itu adalah wujud kesadaran kita supaya pemerintah/pemda mudah mendata setiap warga untuk kepentingan yang lebih besar lagi (statistik nasional, dsb). Kebiasaan itulah yang membuat orang enggan berlama-lama masuk dalam 'birokrasi drakula' itu untuk mengurus surat-suratnya sendiri; Sudah capek masih harus mengeluarkan uang ekstra. Akhirnya banyak yang 'menitipkannya' pada jasa pengurusan surat-surat ini (calo). Sama-sama mengeluarkan uang, tapi tidak capek.

Paradigma itu berlangsung terus menerus dan turun temurun sampai akhirnya menjadi 'hal biasa' dalam sebuah birokrasi pemerintah. Mala jangan heran kalau pada birokrasi yang lebih besar, "uang administrasi" jumlahnya menjadi jutaan bahkan milyaran!

Kembali ke cerita saya. Sejak dari pengurus RT saat mengajukan surat pengantar pembuatan surat domisili usaha, Sang RT sempat menawarkan kepada saya untuk 'membantu' mengurus surat itu dengan menyebut angka tertentu. Dengan halus saya menolaknya. Berlanjut ke pengurus RW, di sini lebih santun, begitu selesai memberi stempel, Sang RW langsung membaca koran. Saya beruntung, setelah berterima kasih saya langsung pamit menuju kelurahan.

Di tempat yang pegawainya berseragam coklat inilah aura drakula mulai terasa. Dari pintu masuk saya melihat sekumpulan pegawai sedang ngobrol asyik dan heboh. Beberapa orang terlihat duduk di meja yang bersih tanpa satu dokumenpun di atasnya. Jadi tak enak kehadiran saya terrasa mengganggu. Tapi saya cuek, toh ini kantor layanan masyarakat. Bla, bla, bla, akhirnya saya masuk ke ruangan Sekretaris Kelurahan. Jujur saya tidak tahu, apakah untuk mengurus Surat Domisili Usaha harus duduk di ruang SekLur? Tapi sekali lagi, saya cuek aja, mungkin memang bagian dia.

Bla, bla, bla. Syarat-syarat pengajuan Surat Domisili Usaha saya sudah lengkap. Akhirnya saat yang saya nantikan tiba...

"Ini selesainya 3 hari Mas, administrasinya 'sekian',"

"Kok besar sekali Pak?"

"Memang segitu Mas, kemarin malah ada yang lebih besar. Oh, iya, nanti kalau di Kecamatan bilang aja dari saya biar ngasih kesananya gak banyak, paling 'sekian'...," lanjutnya berharap menjadi pahlawan di mata saya. Saya manggut-manggut mirip lele mendengar celotehnya sekaligus kaget dengan angka yang mesti saya keluarkan lagi nanti di kecamatan.

Akhirnya saya permisi keluar dengan alasan mengambil sejumlah uang dulu karena uang saya tidak cukup. Sang Seklur menahan saya, menawarkan apakah mau dibantu mengurus surat itu. Saya menggeleng. Saya membayangkan angka yang lebih fantastis lagi jika surat ini dibantu pengurusannya.

Bukan soal pelit atau apa, tapi surat yang ingin saya buat ini kan untuk kepentingan negara juga (untuk menggaji dia juga secara tidak langsung). Surat Domisili Usaha ini untuk syarat membuat NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) supaya ke depan saya bisa bayar pajak untuk membangun negera ini. Sekalipun pajaknya --mungkin-- tidak milyaran tapi itu bentuk kesadaran saya untuk membangun negara ini; Untuk membangun negara di mana drakula-drakula itu hidup dengan keluarganya.

Tidak salah jika paradigma saya tentang birokrasi pemerintah di negeri ini tidak belum berubah.

No comments:

Post a Comment