Thursday, February 26, 2009

Lie Tsu Sie (1)

Lie Tsu Sie mengibaskan rambutnya yang hitam sebahu. Anak rambut yang lembut di keningnya ikut bergerak terhapus lengan bajunya. Ujung hidung dan pipinya memerah merespon dinginnya udara di negeri China. Dari tempatnya beristirahat, Lie Tsu Sie bisa melihat keindahan kampung kelahirannya: Rumah-rumah, klenteng, aliran sungai Yangtze dan pohon-pohon bambu.

Sekitar 12 tahun Lie Tsu Sie  melewati masa kecilnya di kampung itu. Hidup sebagai anak tertua dari 5 bersaudara membuatnya harus berpikir lebih dewasa. Dia harus bisa menjadi orang tua bagi adik-adiknya saat ayahnya bekerja di sawah dan ibunya menjadi buruh pabrik korek api. Menanak nasi, membersihakan rumah, mencuci baju adalah pekerjaan harian yang tidak pernah ia lewatkan.

Sore, saat matahari hampir tak terlihat, dia selalu mambuatkan teh dan menyiapkan makanan untuk ayah dan ibunya. Panci berisi air selalu ia sediakan di depan pintu untuk ayah dan ibunya mencuci kaki dan tangan sebelum masuk rumah. Pabrik tempat ibunya bekerja letaknya lebih jauh dari sawah dimana ayahnya berlumpur.  Jadi ayah selalu menunggu ibu di pinggir sawah untuk pulang bersama.

Sebenarnya Lie Tsu Sie tidak tega melihat kedua orang tuanya bekerja sekeras itu, tapi dia tidak bisa mencegahnya. Karena ada banyak mulut yang harus makan. Maka membersihkan rumah serta mengurus adik-adiknya adalah satu-satunya hal yang bisa dilakukannya untuk membantu orang tuanya.

Hingga suatu hari sebuah keputusan terberat dalam hidup Lie Tsu Sie harus diambil. Keputusan untuk meringankan beban orang tuanya sekaligus meninggalkan adik-adiknya.  Malam itu, ketika matanya hampir saja terpejam, ibunya membangunkan pelan sambil menaruh jari telunjuknya tegak lurus di mulut.

"Lie, bangunlah, ada yang ingin kami bicarakan."

Lie Tsu Sie membuka matanya.  Sedikit terheran-heran dia mengikuti ibunya berjalan menuju ruang depan, dimana ayahnya sudah duduk menunggu.

"Duduklah Lie," kata ayahnya. Ibunya mengambilkan secangkir teh untuk Lie Tsu Sie. Ini kali pertama ibunya melayaninya seperti itu hingga membuat Lie Tsu Sie makin terheran-heran (bersambung)

No comments:

Post a Comment