Tuesday, September 15, 2009

Surat Cinta Rahwana

Konon, sebelum tragedi penculikan Shinta,  Si Raja Alengka Dasamuka alias Rahwana pernah jatuh cinta pada  Setyorini --seorang wanita bersuami-- yang tinggal di kerajaan Alengka. Tanpa sepengetahuan Indrajit --buah hatinya-- Rahwana menulis surat cinta kepada wanita itu...

Setyorini,
Tak hanya perasaanmu yang bergelut dengan ketakutan itu. Aku mengalami hal yang sama; Setiap saat ketakutan kehilangan kamu menghantuiku. Seperti yang selalu aku katakan kepadamu, ketakutan itu selalu berawal ketika aku melihatmu berjalan menuju rumahmu. Bukan ketakutan pada rumahmu, tapi pada apa yang sudah terjadi di rumahmu. Bahwa kamu adalah...dia adalah...kamar itu adalah...kasur itu adalah...ah, sampai kapan pikiran itu menyiksaku?


Dan percayakah Sayangku, kepedihan itu selalu menimbulkan dua kekuatan besar yang selama ini meninju-ninju ulu hatiku: Aku harus segera mengakhirinya atau Aku harus mendapatkanmu! Dua hal yang sama-sama berat untuk kuwujudkan. Jika aku harus mengakhirinya, sama artinya aku menutup pintu yang sudah Tuhan bukakan untukku. Dan ketika aku bersikeras mendapatkanmu, aku harus berpikir dua kali. Bukan karena aku tak mampu melakukannya, tapi lebih karena rasa berdosaku menjadi penyebab sakit hati orang-orang di sekeliling kita. Aku tau, kamu pasti paham seperti apa akibatnya, siapa saja yang akan tersakiti, dsb, dsb...

Setyorini,
Bertemu dan jatuh cinta padamu sungguh hal yang sangat tidak pernah aku bayangkan seumur hidupku. Selama ini aku merasa bahwa tidak akan pernah jatuh cinta lagi. Gombal banget! Perasaanku sudah tak menentu sejak melihatmu. Aku tidak tau, apakah perasaanku muncul karena kehampaan yang aku alami selama kurun waktu ini atau karena kuatnya sinyal yang kau pancarkan? Yang jelas segala rasaku telah kau lilit dengan indahnya pesonamu...


Rasa jenuh yang kualami selama kurun waktu yang tidak sebentar itu sungguh sudah mendorongku keluar dari kotak yang seharusnya kujaga di setiap sisinya. Jenuh? Bukan waktu yang membuatku memilih kata “jenuh” untuk mewakili persoalan rumah tanggaku, tapi lebih pada prinsip dan visi yang sampai saat ini tak kutemukan jalan keluarnya. Hingga pada jarak tertentu dan aku menyerah: Semua sudah tidak mungkin dilanjutkan lagi. Jika kutemukan kata yang lebih tepat untuk mengganti kata “jenuh” akan kuberitahukan kepadamu Sayang. Atau bantu aku menemukan kata untuk mewakili perasaan kecewa, bosan, putus asa dan marah atas sebuah perjuangan yang tak pernah berhasil...

Kekasihku Setyorini,
Apakah kamu percaya bahwa dari cinta yang sedemikian tangguh berangsur-angsur bisa menjadi dingin dan hampa? Mungkin kamu bingung karena kamu tidak pernah mengalami “cinta”. Tapi apa mau dikata, aku mengalami fase itu. Bahwa saat ini aku masih bertahan adalah karena tanggung jawab pada “buah hatiku” selain embel-embel rasa iba dan sejuta ketidakenakan pada dua keluarga yang secara tidak langsung sudah aku “nikahkan”. (Ada orang bijak bilang bahwa menikah itu bukan hanya ‘mengawinkan’ dua manusia, tetapi juga ‘mengawinkan’ dua keluarga besar!). Aku pusing sayang...mlethek sirahku!


Ketika aku bertahan seperti sekarang ini justru pihak yang paling merugi adalah aku! Tapi apalah artinya “aku” dibanding dengan “buah hatiku” dan dua keluarga besar itu?

Perbedaan antara kamu denganku mungkin bisa dilihat dari sini. Apa yang selama ini membebaniku berawal pada cinta yang mengesampingkan prinsip dan visi. Sementara kamu mengalami sebaliknya, prinsip dan visi yang menisbikan cinta. Entahlah, lebih beruntung aku atau kamu dalam hal ini. Aku tidak mau menghakimi. Toh, semuanya sudah berjalan seperti yang digariskan…

Setyorini,
Seperti yang sudah aku bilang kepadamu. Semakin bertambahnya hari, justru perasaan sayang dan cintaku kepadamu makin meninggi. Rasa takut kehilanganmu bahkan sudah menyentuh langit-langit akal sehatku (paling tidak untuk saat ini). Jika kubilang bahwa aku tidak rela kamu pulang ke rumahmu apakah masuk akal? Apakah realistis jika kubilang bahwa aku ingin kamu dalam pelukanku setiap aku membuka mata di pagi hari?


Sayangku....
Kalaupun ini berakhir suatu hari nanti, percayalah, bahwa aku tak akan melupakan apa yang telah terjadi antara kita. Kamu adalah satu hal terindah dalam perjalanan hidupku. Kamu-lah yang telah memberi api pada lentera kepalaku yang hampir saja padam...


Terima kasih atas cinta yang indah ini, Sayang (semoga tak pernah berakhir)...

I love you somuch
Rahwana

1 comment:

  1. halo, senang bertemu Anda melalui blog ini saya Agus Suhanto, tulisan yang bagus :)
    salam kenal yaa

    Salam kenal juga. Thanks sudah mampir

    ReplyDelete