Saat ini anak-anak Indonesia yang "benar-benar" Indonesia sudah berkurang jumlahnya. Sebagian sudah menjadi anak-anak "import" yang berlaku bak turis manca di negerinya sendiri. Jangan tanya siapa Patimura, Cut Nyak Dien atau Dewi Sartika, mereka tidak akan tahu. Atau cobalah memintanya menyanyikan lagu Indonesia Pusaka, Di Timur Matahari atau Rayuan Pulau Kelapa. Miris, tapi inilah kondisi yang ada sekarang ini.
Mungkin itu salah satu efek yang tidak menguntungkan sebuah globalisasi dari sisi sosial budaya. Indonesia sebagai negara dunia ketiga berada pada posisi 'terbuka' menerima penyebaran budaya dari seluruh penjuru dunia. Lalu lintas informasi yang tak terbendung disalahkan sebagai biang keladi dari perubahan itu.
Dua minggu lalu ketika aku berada di sebuah warnet, tak sengaja telingaku terusik oleh suara anak-anak yang membahas sesuatu tak lazim menurutku. Saking kerasnya dialog itu, aku sampai menggeser kepalaku mencari sumbernya hingga menemukan mereka yang duduk persis di satu kamar warnet di depanku. Mereka 2 bocah laki-laki. Kaki mereka masih menggantung, bisa dibayangkan berapa usia mereka.
"Masak sih itu asli ciumannya? Mereka ciuman beneran itu?"
"Iya, ini asli, kok gak percaya sih?"
Aku terbengong-bengong mendengarnya.
Mungkin soal pengetahuan tentang pahlawan, lagu-lagu nasional dan hal-hal yang aku sebut di atas bukanlah kesalahan budaya negara-negara luar. Indonesia masih negara "timur" yang ke Indonesiaannya berjalan secara sederhana dan tradisional sepanjang waktu, jika tiba-tiba mendapat "hal baru " yang lebih enak, gampang dan (dirasa) menyenangkan, apa bisa ditolak? Ibarat kuda yang lepas dari kandang....
Di situlah arti "pendidikan" untuk Indonesia seharusnya berperan.
Orang tua pastilah ingin menjadikan anak sebuah pribadi yang top markotop good marsogud di kemudian hari; Pribadi yang cerdas, modern, berahlak dan agamis. Tak salah jika ditambah juga penanaman nasionalisme dengan cara yang sesuai untuk usianya. Supaya kelak dia menjadi pribadi Indonesia yang benar-benar Indonesia: Berdada merah putih dan berkepala internasional.
hmmhh.. aaayyaaaahhhh.... ati2 dalam menjaga boneka2 ayah yaaa... betapa menakutkan serapan informasi yang teramat luas ini mampu menambah kecerdasan sekaligus jg mampu mengurangi ahlak...
ReplyDeleteBetul tante, karena itulah "pondasinya" harus bagus dan kuat...
itu tugas para orang tua untuk membentuk supaya anak2 menjadi anak yg berguna. salam kenal
ReplyDeleteYup, saling mengisi dengan pendidikan yang ada, karena pendidikan dalam keluarga juga tidak kalah pentingnya.
Salam kenal juga, terima kasih sudah mampir...
hmmm....begitu mengenaskan bangsa ini
ReplyDeleteaku baru 3 hari ga blogwalking udah banyak postingan bro aldie ini
kangen juga
Kalau negara sudah begini jadi tanggung jawab siapa coba... :)
Thanks, aku juga kangen...hayaahhhh... :D
Pendidikan jaman sekarang yang harus disalahin kayanya. Anak jaman sekarang rasanya pada luncur nasionalismenya, beda dengan kita produk jaman dulu yang lebih cinta tanah air.
ReplyDeleteGimana cara nyalahinnya ya :) Pendidikan juga mahal bangetttttsssss...
jadi ortu jaman sekarang makin berat ya... jadi anak juga makin banyak godaannya. kita emang mesti pintar terus, jadi harus terus belajar. tetap semangat ya mas Aldie. Ayo pulang ke Jogja, biar bisa bareng anak-istri.
ReplyDeleteBener Pi, makin berat, aku tambah gemuk niii....
Belajar terus untuk tetap belajar terus... Sukses Buu....
Yang penting pendidikan ahlak dan wawasan luas. Kalau nasionalisme menurut saya ga terlalu penting. Yang penting bagaimana anak saya harus mencintai masyarakat sekelilingnya, bukan negaranya..
ReplyDeleteSaya termasuk orang yang nasionalismenya minus.. hehehe..
Setuju Mas...