Wednesday, December 31, 2008

Katon Bagaskara - Jogja, Cinta Tanpa Akhir

Intro:
Gumregah Merapi anyundhul langit
Padhang mbulan in candhi Prambanan
Keraton pusering buddhi
Candik ayu ing segoro kidul


Membekas, jejakku di pantai berpasir
Deru Parangtritis memanggil
Sekian lama merebut hidup tanpa akhir
Saatnya kumanja nurani

Ada haru di sela ombakmu
Gamelan lirih melenakan kalbu
(Ana rasa trenyuh kapit ombak ira
Gamelan rep anyirep ati
)
termangu ku di situ

Asyik terpukau
Lalu lalang orang di jalan
Ramai sepeda beriringan

Senyum menawan
Wajah ramah memberi salam
Hati terhanyut damai tentram

Anggun gemulai sang dewi penari
Bawa legenda putri di Taman Sari
(Merak ati sang dewi kang luwes ambeksa
Ambabar caritaning putri ing Tamansari
)
Betapa mesranya budaya menyapa

Janganlah dulu, waktu berlalu
Biar kureguk pesonamu
Lalu melepas beban di dada
Kala susuri kota

Setiap waktu kini berpadu
Pada kenangan tak berlalu
Segenap rasa dariku t'rus mengalir
Cinta tanpa akhir
untuk Jogja

Kutitip rindu di bangunan tua
Romansa Jawa membuai tak terasa
Betapa lugunya, budaya menyapa

Coda:
Sapa kan tetirah ing ngayogya
Rasa tentrem angelus nala
Bumi saya prasaja

Katon Bagaskara - Merapi

Memandang lereng merahmu
Menyala membelah gelap malam
Bagai permadani terang
Duduk diam terkesima
Dibelai angin
Jiwa lirih tergetar

Masih terus membayang
Gemuruh bersahutan
Lembah hijau terusik
Ribu doa terpanjat
Makna menghambur tinggi

Kuterbawa dalam alun legenda
Betapa kau dipuja insan sebagai pertanda
Saksi dunia kita makin menua
Dalam harap hidup damai kan tetap terjaga
Oh ... engkau merapi (2x)

Hadirmu memberi
Kesuburan sekitar
Dari masa ke masa
Tetap tegar berdiri
Dingin penuh wibawa

Hari ini Setahun Lalu

Berdua denganmu dan menikmati indahnya cinta adalah satu hal terindah dalam hidupku. Mungkin orang akan berpikir kalimat itu terlalu dibuat-buat, terlalu melankolis atau terlalu 'melambai'. Aku tidak peduli, karena itulah kalimat yang pantas dan layak aku tuliskan/ucapkan untuk mengatakan apa yang terasa di dalam hati dan pikiranku saat bersamamu waktu itu.

Sepanjang hari itu tak henti aku memelukmu, menciumu dan menggenggam tanganmu, seolah tak ingin sesuatupun beri jarak antara kita. Harum tubuhmu dan kelembutan kulitmu seperti sudah menyatu dengan keadaanku yang terbuai mimpi tiada henti. Bahkan saat engkau terbaring di hadapanku tak kuasa satupun berkehendak selain ingin memberimu cinta yang membesar dari dalam hati.

Hingga beberapa jam kemudian terompet tahun baru bersahutan. Gerimis tak aku hiraukan. Matamu dan mataku berkeliling memandang riuh kembang api dari sebuah sebuah tempat tertinggi. Tapi aku tau, saat itu sebenarnya hati kita sedang bertanya; Akan kemana arah kita?

Kacau

Bertubi-tubi tak pernah berhenti
Otak seperti dikebiri
Setiap hari
Hampir mati

Berkejaran seperti balapan
Otak berpikir setan
Penuh beban
Tak teremban

Benarkah ini satu jalan
Otak tak bertuan
Tanpa ilmu simpanan
Tanpa ajaran

Sunday, December 28, 2008

892734 76234 762349723

6725124 152 5453 263542 o625345 02345
234765 34 347623 262687634 9634 7634 7634534
76487 34534 863456873 76345 7634 5076
38437465 345 38453 8673 6876 3409798345

909723 89234 8767 7234 72967542
234267 2347676234 76234 7627364 7623476
2347 6253495 26534 4569456 84573530 7474
8437353 7643764343 38363 386748947

838473 387484 65986 65983495 0345983 87
897 874395 3983 43956 3834593
3858 987589075 973867 3869 89734589 3873
9874355 98435 8973487 0556734 737

----
Angka juga ingin bicara, karena dia juga punya jiwa, dan bumi adalah angka-angka...

Terjebak

Terjebak pada keadaan yang serba menyulitkan sungguh tidak menyenangkan. Apalagi jika itu berkejaran dengan waktu yang tak pernah sekalipun toleran. Bisa dibayangkan pikiran dan batin berebutan ciptakan depresi yang menuakan wajah serta merentakan kulitku. Ah, Bukankah aku memang sudah renta? --Puas Fe? Far?

Mungkin memang harus teralami kejadian seperti ini, supaya pola pikir dan logiku berjalan sewajarnya. Tidak lagi bergelantungan di langit-langit khayalanku seperti hari-hari sebelumnya. Tapi apa aku salah jika khayalanku itulah yang membuatku bertahan sampai hari ini? Aku akui, khayalan adalah satu-satunya buah yang membuatku memahami orang lain. Imajinasi dan khayalan adalah sisi kepalaku yang selama ini menghidupiku. Aku tau itu...

Saat ini aku tinggal memilih, bagaimana aku harus sikapi jebakan ini dengan keyakinan yang aku miliki. Apakah aku akan beringsut perlahan sembari lepaskan jeratnya satu persatu? Atau menyerah dan terkapar di jebakan yang semakin lama sulurnya makin kuat menjeratku? Pilihan ada di tanganku.

Aku tak mau menyerah!

Wednesday, December 24, 2008

Kla Project - Tak Ingin Ku Beralih

Hujan basahi pagi dingin menemani
dan masih ku disini berharap menanti
Semenjak kau pergi menyisakan duka ini
Separuh ruang hati kini terasa hampa tak berarti
Hanya engkaulah yang mampu mengisi

Reff:
Kudambakan kasihmu kurindukan hadirmu
yang selalu membasuh pedih
Sungguh kau tak terganti bilakah kau kembali
Tak ingin hatiku beralih

Dan masih ku disini berharap menanti
Semenjak kau pergi menyisakan duka ini
Separuh ruang hati
hanya engkaulah yang mampu mengisi

Bridge:
Meski banyak bunga lain mencoba cerahkan hati
Namun kenanganku akan dirimu yang selalu memanggil
bahagiaku...

Tuesday, December 23, 2008

Cerita Tentang Hujan

Hujan masih merintik di bibir genteng rumahku. Tempiasnya hantarkan dingin dan basah di lengan bajuku. Aku menyudut dan merapatkan tubuhku pada tembok teras yang sebagain catnya sudah mengelupas.

Hujan seperti tidak peduli dengan bunga-bunga yang kelelahan bergoyang-goyang ditimpa jatuhnya. Juga pada tanah yang tersiksa karena pori-porinya dipenuhi ruah genangan. Sekelebat kutangkap percikan sebuah rindu kepadamu.

Dulu. Hujan inilah yang pernah mengungkung kita di pada peraduan tak terpisah. Alangkah indahnya hujan waktu itu. Gemriciknya bak tetabuhan langit yang manjakan telinga batinku –dan batinmu– yang bersenandung bersama.

Aku lukis namamu pada permukaan kaca yang berembun tertiup dingin di luar: I love you. Dan selalu hujan yang samarkan kelembutan bisikmu di telingaku tentang kebahagiaan itu.

Hujan selalu sisakan aroma pada rerumputan, pada tanah dan pada aspal saat berhenti. Seperti ingin kekalkan keberadaannya pada matahari yang segera menggantinya. Buatku itu tak perlu. Hujan sudah terasa kekal basahi kekeringan di ulu hatiku pada rasa merinduimu.

Hujan tak kunjung berhenti. Ia sengaja mainkan iramanya pada setiap benda di bawahnya untuk menggodaku. Aku menghela nafas. Semakin lama gemricik hujan justru seperti menggerus kekuatan pikiranku satu persatu. Tetasnya tak lagi suarakan harmoni yang menenangkan kebekuanku. Sebaliknya, ia berubah menjadi milyaran tombak yang bersiap menghujam sepi karenamu.

Aku berlari menerobos setiap celah hujan. Dingin dan basah justru samarkan perasaan dan tangisanku memilu. Akankah hujan ini berakhir dan bawa sirna semua rasa? Entahlah…

---------

Catatan ini kutinggalkan buatmu

Monday, December 22, 2008

Ini Harimu, Bu?

Seorang terkasih ingatkanku tentang hari ini

"Sudah telp ibu?"
"Belum," jawabku
"Telponlah, sekedar ucapkan hari ini untuknya," pintanya
"Iya nanti," elakku halus.

Seharusnya setiap hari adalah Hari Ibu. Karena sampai detik ini masih saja beliau yang berperan atas semua hal. Ibu adalah induk semua kehidupan di bumi ini. Karena semua ada melalui ibu.

Lalu untuk apa hari ini?

Mengulik Kenangan

Mungkin nanti semua akan merasakan perasaan yang aku alami. Pada orang-orang yang telah melewatinya lebih dulu aku bisa rasakan maknanya. Bohong jika kekhawatiran tak mengena setitikpun syaraf di kepalanya. Tapi tetap saja ini jadi rahasia.

Alur hidup yang tak tertebak ini sungguh menyenangkan. Itulah kenapa tercipta takdir. Takdir dikatakan saat perjalanan tak terduga kehidupan ini  terlewati. Maksudnya, orang bicara tentang takdir saat takdir telah melewatinya, bukan sebelumnya. Jika hidup ini tertebak alurnya alangkah tidak menyenangkannya dunia. Semua berlaku seperti mesin-mesin di pabrik: Monoton dan robotik.

Seperti membuka album foto masa kecil yang tersimpan lama di gudang. Sekalipun berdebu dan kecoklatan warnanya, kenangan tak bisa diubah. Seribu cerita sudah pasti berada di sekelilingnya, tak peduli cinta, amarah, bahagia atau bahkan prasangka. Dan dalam beberapa hari ini aku sibuk merangkai remah-remah masa lalu yang mulai berhamburan dibias kesibukan masa kini. Tujuannya tentu bukan untuk menilai sesuatu yang keluar dari aku, tapi untuk menilai sesuatu yang masuk ke dalam jiwaku. Dan ternyata besar!

Itulah kenapa ada kehilangan tak terhingga atas jarak yang segera terbuat antara aku, pikiranku dan kenangan itu. Aku sadar bahwa sejujurnya tak pernah ada kehilangan selama aku tak pernah merasa memilikinya. Karena itulah aku kantongi remah-remah itu dalam saku celanaku. Sesekali akan kuambil dan kunikmati dalam perjalanan. Untuk buatku tak sendiri. Untuk buatku selalu berarti. Di hati.

Thursday, December 18, 2008

Terlambat

Kaca loket penerbangan swasta di bandara internasional berantakan aku lempar dengan sebuah batu sebesar mangga Harum Manis, Selasa sore kemarin. Wanita cantik di balik loket histeris ketakutan sambil menutup wajahnya yang takut terluka terkena pecahan kaca. Aku tidak peduli. Segera aku berlari lagi ke arah taman di bagian depan airport dan mengambil batu untuk kali kedua. Kali ini aku lemparkan ke loket penerbangan yang sama di sebalah kirinya. Suara kaca berhamburan di lantai makin membuat kacau balau airport. Para wanita hanya bisa menjerit ketakutan sambil lari menjauh. Sementara para pria hanya bisa terpana melihat kejadian itu. Tak satupun beranjak menghentikanku.

Aku cuek. Mataku masih melotot. Sebentar-sebentar memaki sambil berteriak-teriak tanpa moral. Habis sudah semua jenis binatang aku sebut untuk menggulirkan kekesalanku sore itu. Selembar tiket penerbangan aku acung-acungkan ke udara.

"Emang tidak bisa membawa satu penumpang lagi? Toh pesawat juga belum terbang! Apa kalian tidak punya nurani untuk menaikkan 1 penumpang saja?" Aku masih saja teriak. Sampai suaraku serak dan otot leherku mengejang.

"Dokumen sudah naik semua? Maksudnya apa? Apa susahnya menambah satu dokumen lagi?"

"Kalian tahu, " lanjutku masih dengan suara keras, sambil menunjuk pegawai penerbangan yang berusaha menenangkanku. "Waktu berangkat ke sini, pesawat terlambat satu jam dan aku tetap menunggu! Tapi kenapa aku hanya terlambat 1 menit kalian tidak mau membawaku terbang? Bahkan aku harus membeli tiket baru? Kalian gila!"

Aku mengambil bak sampah kayu di belakangku dan bermaksud melempar lagi loket penerbangan itu ketika beberapa petugas keamanan bandara tiba-tiba menyergapku. Aku tersungkur tak berdaya ditindih lutut dua petugas. Bak sampah yang sedianya aku lemparkan terpental dan terjatuh. Isinya berantakan di lantai bandara yang mengkilat. Aku masih teriak-teriak saat kedua tanganku ditarik kebelakang dan seorang petugas memborgolku.

"Ayah, terlambat ya? Asyik, ayah masih bisa main sama kakak hari ini..."

Suara anakku pecahkan khayalanku yang tersulut kekecewaan karena terlambat ke airport dan tertinggal pesawat. Ah, kenapa pikiranku seburuk itu? Aku menghela nafas panjang. Perlahan kumasukkan ketenangan dan kerinduan anakku kepadaku ke dalam kekecewaanku tadi. Mak Nyesss...

Seketika tak kupikir tiket hangus (yang artinya uang terbuang sia-sia) yang masih aku pegang. Mungkin sisi baiknya, aku diberi kesempatan sedikit lebih lama untuk bermain-main dengan anak-anakku. Rejeki bisa dicari, tapi kesempatan indah dengan anak-anakku adalah waktu yang tak pernah terganti.

Kuangkat tas ransel dan sekardus oleh-oleh untuk kawan-kawanku di Jakarta. Kucium kening anakku dan kugandeng tangan mungilnya. "Yuk Sayang, kita pulang..."

Wednesday, December 10, 2008

Pernahkah?

Pernahkah merasa kecil?
Pernahkah merasa kerdil dari kerikil?
Pernahkah tak lebih berharga dari secuil upil?

Pernahkah membayangkan laut?
Pernahkah menghayalkan di tengahnya engkau kalut?
Pernahkah hadapi yang paling kau takut?
pernahkah akhirnya kau merasa bagaikan kentut?

Pernahkah kau bertemu macan loreng?
Pernahkah jadi saksi ganasnya yang mentereng?
Pernahkah menatap ganasnya mata kelereng?
Pernahkah akhirnya kau hanya sebesar koreng?

Akan ada masanya...
Yang mentereng menjadi koreng
yang laut menjadi kentut
Yang kerikil menjadi upil

Lalu buat apa kau rasa raja?

Monday, December 8, 2008

Anak "Benar-Benar" Indonesia

Sepanjang jalan pulang aku masih memikirkan kalimat Shanaz Haque saat menjadi tamu di acara Talk Show Scope Indonesia 2008 di JCC beberapa jam lalu; "Dada harus tetap merah putih, kepala boleh internasional". Mungkin oleh beberapa orang, kalimat ini dianggap ungkapan sok nasionalis atau apa. Tapi buatku ini sebuah pernyataan yang menyentil pemahamanku tentang "dada dan kepala". Aku setuju dengan pendapat Shanaz tentang bagaimana membentuk anak kita menjadi pribadi yang pintar dan berahlak baik tanpa 'mendurhakai' tanah kelahirannya.

Saat ini anak-anak Indonesia yang "benar-benar" Indonesia sudah berkurang jumlahnya. Sebagian sudah menjadi anak-anak "import" yang berlaku bak turis manca di negerinya sendiri. Jangan tanya siapa Patimura, Cut Nyak Dien atau Dewi Sartika, mereka tidak akan tahu. Atau cobalah memintanya menyanyikan lagu Indonesia Pusaka, Di Timur Matahari atau Rayuan Pulau Kelapa. Miris, tapi inilah kondisi yang ada sekarang ini.

Mungkin itu salah satu efek yang tidak menguntungkan sebuah globalisasi dari sisi sosial budaya. Indonesia sebagai negara dunia ketiga berada pada posisi 'terbuka' menerima penyebaran budaya dari seluruh penjuru dunia. Lalu lintas informasi yang tak terbendung disalahkan sebagai biang keladi dari perubahan itu.

Dua minggu lalu ketika aku berada di sebuah warnet, tak sengaja telingaku terusik oleh suara anak-anak yang membahas sesuatu tak lazim menurutku. Saking kerasnya dialog itu, aku sampai menggeser kepalaku mencari sumbernya hingga menemukan mereka yang duduk persis di satu kamar warnet di depanku. Mereka 2 bocah laki-laki. Kaki mereka masih menggantung, bisa dibayangkan berapa usia mereka.
"Masak sih itu asli ciumannya? Mereka ciuman beneran itu?"
"Iya, ini asli, kok gak percaya sih?"

Aku terbengong-bengong mendengarnya.

Mungkin soal pengetahuan tentang pahlawan, lagu-lagu nasional dan hal-hal yang aku sebut di atas bukanlah kesalahan budaya negara-negara luar. Indonesia masih negara "timur" yang ke Indonesiaannya berjalan secara sederhana dan tradisional sepanjang waktu, jika tiba-tiba mendapat "hal baru " yang lebih enak, gampang dan (dirasa) menyenangkan, apa bisa ditolak? Ibarat kuda yang lepas dari kandang....

Di situlah arti "pendidikan" untuk Indonesia seharusnya berperan.

Orang tua pastilah ingin menjadikan anak sebuah pribadi yang top markotop good marsogud di kemudian hari; Pribadi yang cerdas, modern, berahlak dan agamis. Tak salah jika ditambah juga penanaman nasionalisme dengan cara yang sesuai untuk usianya. Supaya kelak dia menjadi pribadi Indonesia yang benar-benar Indonesia: Berdada merah putih dan berkepala internasional.

Sunday, December 7, 2008

Letto - Memiliki Kehilangan

Tak mampu melepasnya
Walau sudah tak ada
Hatimu tetap merasa
masih memilikinya

Rasa kehilangan
hanya akan ada
Jika kau pernah
merasa memilikinya

Pernahkah kau mengira
kalau dia kan sirna
Walau kau tak percaya
dengan sepenuh jiwa

Rasa kehilangan
hanya akan ada
Jika kau pernah
merasa memilikinya

*Lirik yang indah Noe...

Friday, December 5, 2008

Jubah Kehormatan

Tak banyak orang yang bersedia menanggalkan segala kehormatan. Tak banyak orang yang rela menanggalkan jubah kebesarannya demi sesuatu yang belum pasti. Melepaskan kenikmatan yang tengah memuncak dan bertengger pada ranting kecil sebagai tumpuan akan memerlukan tekad dan semangat yang luar biasa. Mungkin itu tidak berlaku di dunia nyata. Hanya akan terjadi di dunia yang isinya bukan manusia. Benarkah?

Kehormatan tidak muncul begitu saja. Jubah kebesaranpun tidak bisa didapatkan seketika. Ada perjuangan panjang yang menyertainya. Perjuangan yang tentu membutuhkan pengorbanan waktu, tenaga, perasaan dan segalanya yang tak terbeli. Di situlah kehormatan itu muncul, tak berbentuk, tak berwujud secara nyata. Hanya di kepala.

Dan melepas jubah kehormatan tidaklah sesulit mendapatkannya. Hanya membutuhkan kepercayaan pada diri sendiri, keikhlasan dan tetap tanpa prasangka kepada siapapun. Proses ini hanya bagian terkecil dari dinamika kehidupan bahwa pencarian berhubungan dengan kehilangan, pertemuan berhubungan dengan perpisahan, dan seterusnya.

Maka mari bersiap jika suatu saat jubah kehormatan kita terambil. Segera relakan dan bersiaplan menjadi manusia biasa yang tidak pernah terambil 'kehormatan diri'nya. Karena jubah kehormatan bukan kehormatan yang sesungguhnya.

Wednesday, December 3, 2008

Manusia itu Sombong!

Pernahkah merasa sombong? Aku pernah!

Sebenarnya apa sih sombong itu? Otak dengkulku hanya bisa mendefinisikan 'sombong' sebagai perasaan memiliki sesuatu yang lebih besar dari apa yang dia miliki. Bisa juga perasaan ingin menunjukkan ke orang lain apa yang dia miliki (pamer). Entahlah apa lagi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sombong adalah menghargai diri secara berlebihan; congkak, pongah. Sombong yang aku maksud ini adalah sikap yang menyebalkan, membuatku muak, membuatku malu dan justru membuatku makin tidak berarti.

Mungkin manusia tidak 'sengaja' sombong. Ketika merasa dirinya butuh ruang untuk menunjukkan 'keakuannya', celah sempit itu akan tertindih kesombongan. Misalnya saat aku memasuki mall besar yang menjual barang-barang mahal, percaya diri dan kesombongan berkolaborasi. Aku mungkin akan berlagak punya uang segudang untuk membeli barang-barang itu, atau sekedar sok tau, ngerti tetek-bengek barang-barang itu. Ya ampun, ini menjadi reaksi alami yang memalukanku.

Aku masih ingat, dulu pernah berjalan di tengah barisan panjang mbak-mbak cantik dan mas-mas ganteng yang menawarkan aneka parfum di sebuah mall prestisius. Bajuku yang apa adanya (wajahku juga) tak membuat mereka tergerak 'bekerja' menawarkan wewangian itu. Pikir mereka, menilik tampangku, aku bukan orang yang suka dengan wewangian. Kasarnya; Aku tidak punya uang untuk beli parfum! (Hahaha....betuuulllll....) Mereka malah saling berbisik, seperti saling memberi kode "Woii, orang ini gak butuh parfum, dia butuh minyak tanah...". Besoknya, aku bertemu beberapa mbak-mbak cantik itu berdesakan satu bis denganku. Aromanya sama denganku. Betapa sombongnya pegawai itu...

Lain lagi ceritanya, dalam dunia kerja, ada juga beberapa orang yang tak sengaja menyombongkan dirinya. Mungkin dia butuh pengakuan bahwa dia punya power, sampai harus mengumbar jabatan ke banyak orang pada struktur kerja di bawahnya. Buat apa? Aku pernah bertemu orang yang suka pamer, congkak, pongah atas jabatannya sehingga dia sering berucap dan berlaku sebagai 'pejabat' di luar pekerjaan. Orang ini seperti ingin tembok batas "gue boss" dan "lu kacung" tetap tegak berdiri dimanapun, kapanpun.

Intinya, kesombongan bisa dilakukan siapa saja; Aku, kamu, kalian atau siapapun. Kesombongan seperti satu hal yang ditempelkan ke jidat kita sejak lahir. Tinggal bagaimana kita berproses supaya kesombongan itu tidak lebih besar dari isi kepala kita. Kesombongan akan muncul ketika batas kerendahatian tidak lagi bisa bertoleransi dengan keadaan yang berinteraksi dengan kita.

Sungguh, aku tidak ingin sombong...

Tuesday, December 2, 2008

Cerita 5 Hari Bersama 2 Boneka

"Yayyahhh..." Kuciumi Langit dengan gemas dan kangen tak tertahan.
"Kakak kangen ayah..." Kuciumi Lintang dalam pelukan eratku.
5 hari bersama 2 bonekaku hanya itu yang berlaku...