Friday, July 24, 2009

Bang Nol

I

Rambutnya gondrong liar, matanya merah gelap sorotnya tajam seperti hendak merobek setiap biji mata yang beradu pandang dengannya. Mukanya hitam kusam seperti pantat panci berjelaga, berminyak dan kasar. Bengis. Anting paku bertengger di kedua kupingnya, sedangkan kalung rantai emas imitasi segede selang air melingkar di lehernya.

Orang di terminal ini biasa memanggilnya Bang Nol. Preman yang menguasai terminal yang kotor dan kumuh ini. Semua memberi tabik kepadanya, tak peduli itu pedagang asongan, sopir angkot, sopir bis, kondektur, pengamen. Bahkan satuan pengaman terminal tak bernyali membuat perkara dengannya. Sementara para penumpang yang kebetulan berada di terminal itu tak sedetikpun berani beradu pandang dengan Bang Nol. Mereka pura-pura tak melihat atau berjalan cepat melewatinya sambil mendekap barang bawaannya.

Konon dulu Bang Nol pernah dipenjara gara-gara menghajar seorang kondektur hingga mati karena tak membayar 'jatah keamanan'. Gosip itu berkembang dari mulut ke mulut dengan bumbu-bumbu yang makin membuat Bang Nol ditakuti seantero terminal. Ada yang bilang Bang Nol punya ilmu kebal dan tak segan-segan membunuh orang yang berani melawannya. Masih dari cerita orang-orang di terminal ini, minggu lalu Bang Nol menghajar tiga orang pangamen sekaligus hingga sekarat karena beroperasi di wilayahnya tanpa permisi. Entahlah...

Setiap melewati terminal ini iseng-iseng aku mencuri pandang ke arah Bang Nol berada. Biasanya Bang Nol yang duduk dengan kaki nangkring di warung di bawah pohon cemara dengan asap rokok yang menutupi mukanya. Aku masih bisa melihat tato-tato kuno yang mulai buram di sekujur lengan dan lehernya. Benar-benar mengerikan!

 

II

Beberapa hari ini aku tidak mendapati Bang Nol di tempat biasa. Iseng-iseng aku bertanya pada seorang pengamen seruling yang kebetulan berada di samping mikroletku (yang setiap hari menjadi mesin kerjaku untuk menghidupi anak istri).

"Be, tumben beberapa hari Bang Nol gak keliatan, kemane die?"

"Tau deh, denger-denger sih dia 'masuk' lagi gara-gara mukulin sopir minggu lalu," jawabnya.

Dipenjara lagi? Aku merinding. Gila! Bang Nol memang gak ada rasa takutnya, pikirku. Penjara bukan lagi tempat yang bisa membuatnya jera. Preman tulen, pujiku dalam hati.

 

III

Pagi ini aku tidak narik angkot karena harus mengantar istri dan anakku yang baru berumur 5 bulan ke puskesmas untuk imunisasi. Baru siang nanti aku kembali lagi ke terminal untuk nyopir lagi sampai malam. Lumayan, walaupun setengah hari aku masih punya penghasilan untuk hari ini.

Saat menunggu antrian tiba-tiba aku mendengar suara wanita tengah mengomel gak karuan dari bangku pojok di belakangku. Otomatis semua mata memperhatikannya.

"Elu ye, laki-laki brengsek, cari kerja kek yang bener. Tiap hari cuma nongkrong," hardik wanita itu sambil melotot ke arah laki-laki gondrong seperti...mmm...itu kan Bang Nol!

"Udah deh Neng, udah, iye, iye nanti kalo sembuh abang cari kerja deh. Malu neng, malu diliatin banyak orang," bela Bang Nol tanpa melihat sekelilingnya.

"Malu, malu. Elu tuh yang harusnya malu, istri kerja kaya babu ngurusin anak, ngurusin rumah, elu tiap hari kerjaannya minggat mulu pulang malem. Mau dikasih makan apa si Entong? Elu sakit udah dikerokin bukannya istirahat biar cepet sembuh terus bisa cari kerja, ee, malah nonkrong lagi di terminal. Elu lagi jatuh cinta ama jande itu tu si Markonah? Elu tau aja barang die masih seger, gue udah bangkotan lu tinggalin. Pas giliran sekarat aja lu balik lagi ke gue!" Istri Bang Nol makin nyinyir dan tak peduli dengan orang-orang memperhatikannya. Aku melihat muka Bang Nol yang hitam legam memerah menahan malu. Bang Nol tertunduk.

Aku tersenyum dalam hati. Jika saja puskesmas ini adalah terminal dan wanita yang masih saja mengomel itu adalah laki-laki di terminal, pasti sudah dihajar tinju Bang Nol hingga sekarat! Alangkah bedanya sisi seseorang di permukaan dan di dalam hatinya. Tubuh yang sangar dan membuat mengkeret setiap mental di terminal tiba-tiba menjadi pribadi yang kecil dihadapan istrinya, terlepas dari persoalan yang dihadapi.

Semoga besok Bang Nol berubah, menjadi pribadi yang menentramkan, baik di terminal atau dimana saja. Kalau tidak, biar aku laporkan pada istrinya hahaha...

5 comments:

  1. salam kenal..
    kadang lelaki memang bisa jadi beda saat di depan wanita yang dia suka.. :)

    Salam kenal juga.
    Kalau di depan istri yang gak bisa ditinggalin gimana?
    Thanks sudah mampir

    ReplyDelete
  2. hehehe pesannya mantap! eh salam dari bang namun dan mpok geboy buat bang Nol! :p

    Ok, salam balik ye, kapan ngumpul lagi di terminal?

    ReplyDelete
  3. kang aldie kemana ajah?

    hai Julie, gak kemana-mana kok, masih eksis membaca blog... :)

    ReplyDelete
  4. Mas Aldie...

    Hehehehe... Terinspirasi beneurrrr.....!!!!

    ReplyDelete
  5. ceritanya bagus. Pesannya jelas. Zaman sekarang kalo banyak orang seperti bang Nol. Dunia runtuh.

    Hehehe. Banyak sedikitnya gak tau sih, tapi masih ada, dalam konteks yang berbeda-beda...

    ReplyDelete