Monday, January 5, 2009

Sang Maharaja

"Ayah kerja dulu ya Sayang. Kakak ama Dek Keyzha, nanti mau diajak ke pasar malam lho sama Pakde," rayuku sambil membelai rambut kriting sepinggang anak perempuanku yang merajuk di pelukanku.

"Gak mau, pokoknya Kakak ikut. Kalau kerja pasti ayah lama. Kakak maunya sama ayah," isaknya.

Alangkah maharajanya uang. Kadang uang menjadi setan bertanduk yang menciptakan kesedihan tanpa daya. Dan satu anak sumber inspirasiku menangis dibuatnya. Aku dan seluruh egoku tak kenal waktu memburu uang. Sekalipun demi anak-anakku dan keluargaku, tetap saja ini menjadi bentuk penghambaan atas materi. Ada susu yang harus terbeli, ada sekolah yang harus terbayar, ada proses hidup yang harus berjalan.

Sayangnya, pada proses kerja yang aku lakukan, uang selalu berbanding terbalik dengan waktu kebersamaanku dalam keluarga. Tiada batas kapan pencapaian materi itu akan terhenti. Apakah artinya tiada batas pula kapan waktu untukku dan keluargaku bersatu?

Wahai uang sang maharaja, sebenarnya berlebihan sebutan itu buatmu. Kalau engkau sadari, aku tak menghamba padamu. Engkau hanyalah sarana untuk wujudkan keindahan harapanku pada keluargaku. Utamanya pada anak-anakku yang masih doyan susu. Mereka tak harus tau bagaimana aku mencarimu, karena itu berupah pada wibawa dan kecintaan mereka kepadaku.

"Tapi bener ya ayah pulang sore, kakak mau sama ayah,"

"Iya Sayang, kalau kerjaan ayah cepat selesai, ayah pasti cepet pulang," kataku sambil mencium keningnya dan berlalu. Ada perasaan sedih yang mendalam meninggalkannya dengan mata masih sembab.

Jujur, selama ini merekalah yang menenangkan hatiku. Mereka menjadi batasan kesabaran yang luar biasa untuk tidak memaki atau menonjok atasan, klien atau partnerku saat mereka sudah melewati batas toleransi ketololan yang aku berikan. Merekalah akal sehatku.

Jadi semua tak semata-mata karena sang maharaja uang...

----

Ada saatnya kita merasa dianggap benar-benar orang tolol, diremehkan --dan hal merendahkan lainnya-- oleh orang lain. Pernah alami itu? Itu yang dianggap sebagai batasan emosi penulis cerita ini. Dalam cerpen ini, memang 80% fiksi sementara 120%-nya adalah ungkapan perasaan penulis. Selebihnya adalah kompilasi seribu pemikiran.

5 comments:

  1. Kadang kita perlu mundur sejenak, melihat diri sendiri. Keluarga dan Pekerjaan kadangkala membuat sebuah lingkaran tak berujung mana yang harus didahulukan. Nampaknya kita harus bisa bijak bersikap, ini memang sulit sekali..

    Betul Bro, harus bijak...

    ReplyDelete
  2. ayaaahh... ma acih yaa... mereka pasti tau itu ayaaahh...

    Sama-sama tanteee...

    ReplyDelete
  3. quoted :
    "jujur, selama ini merekalah yang menenangkan hatiku. Mereka menjadi batasan kesabaran yang luar biasa untuk tidak memaki atau menonjok atasan, klien atau partnerku saat mereka sudah melewati batas toleransi ketololan yang aku berikan. Merekalah akal sehatku."

    boleh tanya nggak... seberapa sih "batas toleransi ketololan" itu?

    dan... gimana kita bisa tau bahwa mereka yang tolol & bahwa kita yang punya 'akal sehat', dan bukan sebaliknya?

    salam!
    d.~

    Boleh kok nanya. Aku juga boleh ya jawab. Ya iyalahhh... :p
    Ada saatnya kita merasa dianggap benar-benar orang tolol, diremehkan, dan sebagainya oleh orang lain. Pernah gak Dee alami itu? Itu yang dianggap sebagai batasan emosi penulis cerita ini. Dalam cerpen ini, memang 80% fiksi sementara yang 120% adalah ungkapan perasaan penulis. Selebihnya adalah kompilasi seribu pemikiran. Salam!

    ReplyDelete
  4. Menurut imam Ghazali, harta itu pelayan, pelayan paling bawah. Pelayan paling pelayan. Di atasnya ada pelayan yang namanya MAKANAN-MINUMAN; di atasnya lagi ada pelayan yang namanya BADAN atau JASAD; di atasnya lagi ada AKAL, lalu RUH. Jadi sangat-sangat terbalik bila PELAYAN yang paling pelayan dijadikan MAJIKAN.

    Thanks. Great comment!

    ReplyDelete
  5. yuhuuuu... santai aja lagi. emang perlu berapa digit siii..... :)


    Berapa ya..dijit...mmm..dijitak sampai benjol! :p

    ReplyDelete