Tuesday, November 4, 2008

Hujan Senja Hari

Hujan melibas Jakarta dengan selimut dingin bekukan sungsumku. Kutarik kerah leher jaketku lebih ke atas agar berikanku kehangatan berlebih. Aku masih saja membaca sebuah buku Pin Yathay tentang kanak-kanak korban perang Khmer Merah. Sedari tadi aku sudah larut pada buku yang ada dihadapanku. Sebenarnya dingin dan hujan tak begitu menggangguku karena aku sudah temukan hangat di kafe ini --dengan sepiring pisang keju dan segelas coklat panas--. Jadi aku masih menikmati setiap kata-kata di buku meskipun derai hujan menggelitik kaca di sampingku. Sampai suatu ketika...

"Sayang, alangkah kami butuh pelukmu di hujan dan petir senja ini"

Aku menoleh ke kanan dan kekiri. Kucari sumber suara yang dekat sekali di telingaku tadi. Sepi. Tak kulihat satupun orang berada di dekatku. Hanya ada dua meja yang terisi selain mejaku. Itu juga tidak terlalu dekat dengan mejaku. Satu orang duduk di sebelah kananku dipisah satu meja besar. Sementara yang lain lagi --ada 3 orang-- duduk di satu meja yang jaraknya lebih jauh dari orang pertama tadi. Tepatnya di sudut setelah lewati empat meja di sebelah kiriku. Jadi tak mungkin dari mereka mempunyai kecepatan super untuk berbisik di telingaku dan bak kilat kembali ke tempat duduknya semula.

"Sayang, alangkah kami butuh pelukmu di hujan dan petir senja ini"

Mmm, kalimat itu berulang lagi di telingaku. Kali ini aku bersiap melayaninya. Kututup buku ditanganku dan meletakkannya di meja. Di antara gelas dan sepiring pisang goreng keju yang belum separuh kusentuh.

"Siapakah engkau?" tanyaku sambil memejamkan mata, berharap telingaku lebih jeli mengenali suara-suara itu.

"Sayang, tidakkah engkau ingin memeluk kami? Hangatkan kami di dingin dan hujan senja ini? Kami teringkuk berpelukan di kamar terhasut kengerian pada petir yang menyambar-nyambar di luar sana"

Ah, suara itu. Aku mengenalnya. Suara belahan jiwaku nun jauh di dalam tubuhku yang paling dalam. Di satu kamar sederhana di dalam hatiku. Meringkuk di atas dipan jati di sebelah jantungku sambil menunggu cemas kedatanganku yang dapat tenangkan dan hangatkannya.

"Cintaku, aku akan datang dan temani kalian hadapi hujan dan dingin senja ini. Tunggulah barang sejenak, akan aku bawakan selimut tebal bulu-bulu hangat, secangkir coklat panas dan selusin donat empuk sebagai buah tangan buatmu," aku coba tenangkan belahan jiwaku yang masih berpelukan di sudut dipan. Aku tersenyum hiba pada mereka.

"Sayang, hanya engkau yang kami butuhkan. Pelukmu pada kami adalah selimut paling hangat yang kami inginkan. Candamu bersama kami melebihi nikmatnya secangkir coklat panas yang kami butuhkan, dan belaian tanganmu adalah sentuhan terempuk daripada tumpukan donat rasa apapun..."

Aku buka mataku. Kuletakkan secarik uang kertas sebagai pengganti sepiring pisang keju dan secangkir coklat yang mulai dingin di atas meja. Kuambil buku yang kugeletakkan di atas meja tadi dan bergegas meninggalkan kafe itu. Kupejamkan mata. Kunaiki angin yang berhembus basah di kota Jakarta, menembus dimensi dunia khayal dalam tubuhku sendiri. Melewati jantung, menembus rongga-rongga di antara rusuk-rusukku dan mencapai rumah hatiku yang terang bercahya. Rumah indah yang kami pagari dengan daun-daun cinta dan tumbuhan kasih sayang.

---------

Untuk kalian belahan jiwaku nun jauh di sana...

2 comments:

  1. Kerinduan datang kala seseorang hadir dalam kalbu kita yang berusaha menelusup menuju saraf-saraf cinta..

    ReplyDelete
  2. Tulisan yang bagus, “Hujan Senja Hari”
    Entah mengapa saya punya lagu judulnya agak mirip
    meskipun ceritanya lain. Agak mirip karena sama-sama
    menggunakan latar belakang senja. Saya juga senang nulis puisi atau prosa mas, tapi biasanya langsung saya buat nadanya dan jadi lagu...Salam kenal ya ...

    Lagu saya "Senja Ini" bisa didengarkan di cjandthebroster.blogspot.com


    Salam,

    CJ

    Thanks. Wah, kita ternyata punya cerita yang sama tentang senja. Saya sedang dengarkan lagunya, bagus, "aku ini hanya kata indah tertahan...". Terus berkarya...

    ReplyDelete